Selasa, 24 Februari 2015

Pendekar Pedang Petir (Bab. 2 : Naga Petir)



Naga Petir


Seorang pemuda berbadan kekar tidak memakai baju berjalan selangkah demi selangkah menuruni gunung. Keringat mengucur deras di seluruh badannya. Tangannya memeluk sebuah batu yang bukan main besarnya. Batu besar itu diangkat dan dibawanya berjalan. Di atas batu itu, duduk seorang berambut dan berjanggut putih panjang, badannya kurus berbalut kain putih, lehernya berkalung tasbih dengan biji besar-besar berwarna hitam. Orang tua yang duduk di atas batu dengan memejamkan matanya, sepintas mirip pertapa yang sedang bersemedi.

“Uggghhh.. Guru.. ini sudah ketiga kalinya aku menuruni gunung.. berapa kali lagi?” tanya pemuda itu kepada orang tua yang dipanggilnya guru.

“Kau harus membawa aku naik ke atas lagi, baru kita beristirahat,” jawab sang guru dengan tenang.

Bicara memang mudah, apalagi sambil duduk di atas.. aku yang di bawah membawa batu ini berat.., pemuda itu membathin di antara perjuangannya.

Tak! Kepala pemuda itu mengangguk tiba-tiba, bagai dipukul seseorang yang tak terlihat dari belakang.

Uhh.. kenapa sih aku punya guru yang bisa membaca isi hatiku, rutuk pemuda itu.

“Memang takdir Yang Kuasa bahwa kau harus menjadi muridku,” kata sang guru datar.

Pemuda itu telah naik-turun gunung sambil membawa batu besar, sebesar pelukan tiga orang dewasa yang disatukan, dari sebelum matahari terbenam hingga matahari mulai condong ke barat. Pemandangan tidak lazim ini sering terlihat di sekitar pertapaan milik seorang yang dijuluki Pertapa Putih, karena pertapa itu berambut, janggut dan ber baju serba putih.

Pertapa Putih memiliki seorang murid yang dilatihnya sejak kecil. Dengan didikan keras sang Pertapa Putih, muridnya yang pertama kali datang hanya seorang anak ingusan, berubah menjadi pemuda dengan wajah tampan, berbadan tinggi kekar dan memiliki kesaktian di atas rata-rata. Jarang ada orang yang mampu naik-turun gunung sambil membawa batu sebesar gajah ditambah orang duduk di atasnya.

“Guru… hah hah... aku, aku… sudah kelelahan... hah hah... aku sudah tidak.... tidak kuat lagi... kita selesai disini saja ya…” pemuda itu bicara dengan nafas tersengal-sengal.

“Pertapaan sudah dekat, dari sini kau harus berlari. Kalau tidak, kau tidak dapat makan malam,” kata sang guru.

Mendengar perkataan sang guru, pemuda itu berlari sekuat tenaga. Batu sebesar badan gajah yang sedang dipeluknya, bagaikan sekantung kapas, dibawanya berlari begitu saja. Sekali kakinya melangkah, beberapa meter dilewati. Anehnya, orang tua yang duduk di atas batu, tidak sedikitpun terguncang akibat laju lari pemuda itu. Bila orang yang melihat, pastilah pemuda itu disangka siluman, karena berlari bagaikan setan yang mengambang di atas tanah.

Pemuda itu berhenti tepat di luar halaman pertapaan. Pertapa Putih meloncat turun dari batu tempat duduknya.

“Hari ini cukup sampai disini,” kata sang guru.

“Terimakasih guru.” pemuda itu menjawab dan meletakan batu itu di depan pertapaan.

Mereka berjalan bersama memasuki pertapaan yang tediri dari tiga buah bangunan pondok beratap jerami. Pondok yang tengah adalah tempat Pertapa Putih bersemedi dan beristirahat, yang sebelah kanan adalah dapur dan yang sebelah kiri adalah tempat muridnya
tinggal.

Guru dan murid ini duduk beristirahat di halaman pondok pertapaan. Muridnya mengipas-ngipas tubuhnya yang penuh keringat dengan bajunya.

“Tegar… Besok, sudah saatnya kau meninggalkan pertapaan, sudah saatnya kau mengenal dunia ini... akupun akan pergi ke ke puncak gunung untuk melanjutkan pertapaanku,” kata Pertapa putih.

“Tapi guru… aku harus kemana? Aku tidak kenal siapa-siapa. Rumah orang tuaku pun aku tak tahu jalannya,“ jawab Tegar bimbang.

“Kau sudah kuajarkan hampir semua ilmuku.. ilmu yang kau miliki hanya setingkat di bawahku... walaupun aku bukan yang terhebat tapi aku yakin tidak ada orang di dunia persilatan yang dapat mengalahkanmu dengan mudah... ikutilah kemana langkah kakimu berjalan.” Pertapa Putih meyakinkan muridnya.

“Baik guru.” Tegar tak berani membantah walaupun kerisauan dan kebingungan melanda hatinya.

“Sudah saatnya aku menyerahkan apa yang seharusnya jadi milikmu,” kata Pertapa Putih saat mengeluarkan sebuah gagang tanpa pedang berwarna perak dari balik kain di pinggangnya.

Tegar mengingat kembali kejadian 9 tahun yang lalu. Dia mengingat ayah dan ibunya, serta pedang yang bersinar putih kebiruan saat dipegangnya.

“Pedang Petir ini adalah pusaka langit yang jatuh kebumi menemani kelahiranmu.. pusaka ini sangatlah hebat. Hanya 3 pusaka lain yang dapat menandinginya, yaitu Pedang Langit, Pedang Api dan… Pedang kematian. maka berhat-hatilah menggunakannya.” sang guru menjelaskan.

Tegar hanya manggut-manggut menggaruk dagunya yang tak berjenggot.

“Aku juga akan memberikanmu sesuatu untuk perjalananmu.” sang guru kembali mengeluarkan bungkusan dari balik kain pinggangnya, “bukalah…”

Tegar membuka bungkusan yang diberikan gurunya. Ada seperangkat pakaian berwarna hitam, satu ikat uang kepeng dan sebuah batu pipih sebesar kepalan tangan berwarna putih.

“Guru, ini benda apa?” kata Tegar memegang uang kepeng dan batu putih di tangannya.

“Yang di tangan kananmu dinamakan uang, itu untukmu membeli sesuatu di kota nanti. Yang di tangan kirimu adalah batu penyembuh yang dapat menyerap racun jenis apapun,“ jawab Pertapa Putih.

Tegar hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Sekarang ujian terakhirmu. Peganglah gagang pedang petir ini,” kata sang guru menyerahkan gagang pedang petir pada Tegar.

Tangan Tegar bergetar begitu mengambil pedang petir dari tangan gurunya. Tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita. Ada sebuah titik cahaya mendekatinya. Semakin lama cahaya itu semakin membesar hingga terlihat jelas wujud asli cahaya itu adalah seekor naga putih kebiruan dengan tubuh diselimuti petir berkilat-kilat.


Tegar bergidik melihat makhluk besar di depannya. Badan naga itu bergerak di udara, berputar lambat di depan Tegar. Gigi naga itu besar-besar, giginya taring semua. Cakarnya tajam mengkilap. Mungkin dengan sekali serangan Tegar bisa mati seketika.

“Graaaaaaaarrhhhhhh!” Naga Petir meraung keras membuat petir yang menyelimutinya menyambar-nyambar.

“Si-siapa kau?” Tegar memberanikan diri bertanya pada Naga Petir.

“Aku adalah Naga Petir... kekuatanku terikat pada pedang petir yang ada di tanganmu” jawab Naga Petir saat bergerak memutar di udara.

“Bagaimana bisa? Kau mahkluk terbesar yang kulihat.. bagaimana bisa kau ada di dalam pedang ini?” Tegar kembali bertanya.

Naga petir berputar di udara, membuat percikan listrik di udara.

“INDRA!” Naga Petir meraung keras, “beribu tahun yang lalu... aku dikalahkan oleh Indra... dan aku berjanji akan tunduk kepadanya... tapi dia membagi kekuatanku dan mengikat aku di dalam pedang terkutuk itu...”.

Naga petir naik meluruskan tubuhnya, tiba-tiba kepalanya menukik turun dan tersenyum memamerkan taringnya tepat di hadapan Tegar. Tegar memalingkan mukanya, silau akan cahaya putih di dalam mulut Naga Petir.

“KAU!” kembali Naga Petir meraung, “kau adalah si Anak Takdir tapi kau juga adalah manusia lemah… kau tak akan mampu mengendalikan kekuatanku… lebih baik kau buang pedang itu, kau tak pantas!”

Tegar sedikit emosi mendengar ejekan Naga Petir. Giginya mengatup kencang, membuat pipinya agak menggembung. Alisnya hampir menyatu, matanya fokus pada tubuh Naga Petir. Tangan kirinya memerah mengumpulkan tenaga dalam.

“Akan kubuktikan.. AKULAH PENDEKAR PEDANG PETIR!” Tegar meloncat ke depan dan berteriak saat kepalan tangan kirinya menghantam ke arah Naga Petir, “Pukulan Pemecah Sukma!”.

Cahaya merah meluncur cepat dari kepalan tangan Tegar ke arah dada Naga Petir. Naga Petir tidak sempat menghindar. Jurus Tegar menghantam tubuh Naga Petir dengan telak membuat tubuhnya terguncang dan terdorong kebelakang.

“Khe khe khe... hanya itu jurus andalanmu wahai Anak Takdir?” Naga Petir hanya terkekeh menerima serangan Tegar.

Tegar gusar bukan main. Jurus Pukulan Pemecah Sukma yang dapat menghancurkan batu sebesar rumah, mengenai sasaran dan lawannya hanya tertawa sinis.

Lawanku adalah naga... baiklah kalau begitu... Tegar meyakinkan dirinya.

Tangan Tegar mencakup di depan dadanya. Sinar Putih menyelubungi kedua telapak tangannya merambat menutupi tangan dan lengan. Kini kedua tangan Tegar tertutup sinar putih yang menyilaukan.

Jurus Tombak Dewa Pembunuh Naga? Celaka! Naga Petir menyadari bahaya yang akan mengancamnya.

Segera Naga petir berputar-putar di udara, membuat pusaran angin berarus listrik. Tegar kagum melihat pusaran listrik di depannya, namun hatinya tidak takut. Dia mulai meloncat ke udara dan menyerang Naga Petir. Tegar menusukan telapak tangannya bagai menusuk tombak dari udara. Puluhan cahaya putih meluncur deras ke arah Naga Petir yang berputar.

Cras! Cras! jurus Tegar beradu dengan pusaran listrik.

Cahaya putih jurus Tombak Dewa Pembunuh Naga yang dilontarkan kedua tangan Tegar terpental ke segala arah. Pentalan cahaya putih menghilang dimakan kegelapan. Tegar terpana melihat jurusnya terpencar oleh pusaran Naga Petir. Tegar berlari ke arah naga Petir dan kembali menyerang. Naga Petir melihat gelagat Tegar dan menghempaskan ekornya menghantam tubuh Tegar.

Tegar meloncat menghindari hantaman ekor Naga Petir yang datang ke arahnya. Dengan kedua tangannya, Tegar memeluk ekor naga itu dan membantingnya ke bawah.

BUMM! suara ledakan mengiringi jatuh tubuh Naga Petir yang besar.

Kembali Tegar mengangkat ekor Naga Petir dan memutar-mutar tubuhnya dengan sekuat tenaga. Tubuh Naga Petir terangkat lurus dan berpusar akibat gerakan Tegar. Naga Petir meraung keras membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan.

Tegar yang berputar, melempar tubuh Naga Petir ke udara. Tubuh Naga Petir terpental jauh ke atas dengan cepat. Tiba-tiba luncuran tubuh Naga Petir, akibat kekuatan lemparan Tegar, berhenti di udara.

“ANAK KURANG AJAR!” Naga Petir meraung keras saat meluncur ke arah Tegar.

Naga Petir membuka mulutnya lebar-lebar, dengan kecepatan tinggi menukik ke arah Tegar. Tegar menyilangkan tangannya di depan wajahnya, matanya memejam, kepalanya menunduk, bersiap menerima serangan Naga Petir.

Mulut Naga Petir melahap tubuh Tegar bulat-bulat. Tetapi, bagaikan angin, tubuh Tegar menembus tubuh Naga Petir. Sekujur tubuh Tegar gemetaran menahan Naga Petir yang melewatinya. Rasa sakit menusuk sampai ke tulang disarakannya saat tubuh Naga Petir menembusnya. Setelah ekor Naga Petir melewatinya, sesaat Tegar diam tak bergeming. Lututnya gemetaran menahan sensasi aneh saat ditembus Naga Petir. Sakit, geli dan gemetaran melanda seluruh tubuhnya. Rambut yang tumbuh di pori-pori tubuh Tegar meremang berdiri. Tak kuat menopang tubuhnya, kaki Tegar menekuk dan berlutut.

Tegar mulai kehilangan kesadarannya akibat serangan Naga Petir. Tegar kaku bagaikan patung dengan badan tegak dan berlutut. Tangannya masih menyilang di depan dada. Sinar putih yang menyelubungi tangannya mulai menghilang.

“Khe khe khe... dasar anak bau kencur... baru begitu saja sudah mati.” Naga petir terkekeh menertawakan Tegar yang disangka mati.

Tiba-tiba Naga Petir dikejutkan oleh cahaya kuning menyilaukan yang meliputi tubuh Tegar. Di belakang Tegar muncul cahaya bayangan raksasa yang menunjuk ke arah Naga Petir.

“DASAR KAU NAGA BUSUK! KAU MAU MEMBUNUH TUBUHKU?!BERTAPA DULU 5000 TAHUN BARU KAU BISA MEMBUNUHKU!” suara bayangan raksasa itu menggema keras memekakkan telinga.

Sial! Anak Takdir, giliran Naga Petir yang gemetaran.

Bayangan cahaya raksasa itu tiba-tiba memegang panah di tangannya dan membidik Naga Petir, membuat suara gemuruh menggema. Naga Petir terbang melarikan diri. Sebuah anak panah cahaya meluncur bagaikan meteor ke arah Naga Petir yang kabur. Kecepatan terbang Naga Petir tak mampu menghindari panah cahaya.

“Tidak! TIDAAAAAKKK!” Naga petir meraung sebelum panah cahaya mengenai tubuhnya.

Tegar melihat semua kejadian itu, sebelum berubah menjadi sinar jingga yang menyilaukan matanya. Nafasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Yang kini dilihatnya, sang guru berdiri didepannya sambil tersenyum.

“Bagaimana?” gurunya bertanya pada Tegar.

Tegar tidak menjawab, nafasnya masih tersengal-sengal, ekspresi wajahnya shock.

“Bukan dia yang mengalahkanku... Anak Takdir yang melakukannya,” tiba-tiba mulut ukiran naga di gagang pedang petir yang dipegang Tegar berbicara seakan hidup.

“A-apa? apa yang terjadi?” Tegar bertanya pada gurunya.

“Jiwamu bertemu Naga Petir yang terkurung di dalam pedang itu.. untuk menggunakan pedang petir, kau harus menaklukan Naga Petir terlebih dahulu,” jawab sang guru.

“Sudah kukatakan, bukan dia yang mengalahkan aku,” ukiran kepala naga di tangan Tegar berkata sewot.

“Benda ini bisa bicara?” Tegar mengangkat gagang pedang petir ke depan wajah.

“Tentu saja, bodoh,” jawab Naga Petir dengan sewot.

Pertapa Putih tertawa melihat muridnya dan Naga Petir berdebat.

“Itulah keunggulan pedang Naga Petir, selain kekuatannya yang luar biasa, pedang itu dapat membantu pemiliknya dalam bertarung.” Pertapa Putih menjelaskan pada muridnya.

“Aku tidak sudi membantu bocah ingusan ini,” kata Naga Petir.

“Bukannya kau tadi lari ketakutan saat kita bertarung?” Tegar mengejek Naga Petir.

“Anak Takdir yang mengalahkanku, bukan kau!” Naga Petir mengelak.

“Muridku dan Anak Takdir adalah satu dan kau sudah ditaklukan, penuhilah janjimu Naga Petir.” Pertapa Putih berkata bijak.

“Ck! Kau melatih murid yang lemah Mandala.” Naga Petir melengos, ekpsresi kepala naga di gagang pedang berubah kaku seperti semula.

“Guru, bagaimana jika aku tadi kalah melawan Naga Petir?” Tegar bertanya penasaran.

“Maka kau akan mati,” jawab sang guru enteng sambil berbalik meninggalkan Tegar yang kembali memandang gagang pedang petir di tangannya.

Bersambung...


0 komentar:

Posting Komentar