Kamis, 19 Februari 2015

Pendekar Pedang Petir (Bab. 1 : Anak Takdir



Anak Takdir






Suara gamelan menambah kemeriahan perayaan panen pagi itu. Desa Alas Batu mengadakan perayaan panen sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat Yang Esa karena hasil panen di desa ini melimpah. Berbagai tarian khas juga dipertontonkan. Penduduk desa Alas Batu juga membuat semacam “tumpeng” dari berbagai hasil panen seperti padi, lobak, kacang, terong dan berbagai macam hasil bumi dari kebun dan sawah milik penduduk. Tumpukan hasil bumi ini nantinya di arak keliling desa, diikuti oleh para penari dan penabuh gamelan.

Setelah arak-arakan perayaan panen, pak Suwiryo, kepala desa Alas Batu mengundang seluruh penduduk desa untuk makan bersama di rumahnya. Istri pak Suwiryo telah membuat berbagai macam hidangan. Halaman rumah kepala desa penuh dengan penduduk yang duduk di atas tikar-tikar anyaman daun kelapa, melingkari makanan yang ada di tengah tiap-tiap tikar. Seusai mengucapkan kata sambutan, acara makan bersama pun dimulai.

Saat penduduk asik berpesta, datanglah seorang pertapa tua yang kebetulan lewat di depan rumah kepala desa. Pertapa dengan rambut panjang, brewok lebat dan bertampang kumal, mengenakan kain putih yang sudah lusuh dan kotor itu masuk ke dalam rumah kepala desa untuk meminta makanan. Pak Suwiryo yang melihat pertapa itu masuk segera mendatangi nya.

“Salam wahai pertapa.. apakah yang bisa saya bantu untuk anda?” kepala desa itu menyambut sang pertapa tua.

“Salam tuan.. adakah sedikit makanan untuk pertapa pengelana yang sudah tua ini?” jawab sang pertapa dengan suara khas orang tua.

Pak Suwiryo adalah orang yang tahu adat dan tradisi, tak boleh mengacuhkan seorang pertapa, guru, pengemis, orang papa, anak tanpa ayah, janda dan orang tua yang meminta sesuatu.

“Silahkan masuklah dulu wahai tuan pertapa, ke rumah hamba yang hina ini” Pak Suwiryo mengundang pertapa itu masuk.

“Terimakasih tuan... aku tidak enak masuk ke rumah tuan, sedangkan banyak orang sedang berpesta.. bisa rusak selera makan mereka tubuhku yang kotor ini,” jawab pertapa lagi.

“Tidak, tidak... bagaikan mendapat sinar terang begitu pertapa yang mulia masuk ke dalam rumahku,” kata Pak Suwiryo.

“Bila itu kehendakmu... maka terjadilah,” jawab sang pertapa masuk ke dalam rumah mengikuti kepala desa.

Pak Suwiryo dan pertapa itu berjalan beriringan membelah puluhan penduduk desa yang asik dengan makanannya. Tak seorangpun yang menghiraukan mereka.

“Lastri... Lastri... siapkan makanan yang terbaik.. ada tamu agung yang datang,” kata Pak Suwiryo kepada istrinya.
Pada zaman itu, seorang pertapa dan seorang guru amat sangat di hormati, bahkan lebih di hormati dari pada seorang raja sekalipun. Pak Suwiryo menyiapkan tikar anyaman sebagai alas duduk di tengah rumahnya dan mempersilahkan sang pertapa untuk duduk.

Tak berapa lama, datanglah istri dan anak dari kepala desa membawa makanan dan kendi tanah liat berisi air.

“Ini istri dan anak saya,” kata Pak Suwiryo memperkenalkan.

“Nama saya Sulastri..”, kata istri kepala desa sambil menaruh makanan dan kendi tanah liat di tengah-tengah tikar.

Hanya sekilas pertapa itu melihat Sulastri, seorang wanita berkulit kuning langsat dan berwajah cukup cantik, istri pak kepala desa. Pertapa itu lebih tertarik dengan anak kepala desa yang berumur 9 tahun. Dipandangnya anak kecil itu dari atas kebawah dengan alis mengernyit dan ekspresi aneh.

Jangan-jangan.. inilah orangnya.., pertapa itu membathin.

“Tegar.. jangan hanya berdiri di sana.. perkenalkan dirimu pada tuan pertapa,” kata pak Suwiryo kepada anaknya.

“Salam.. nama saya Tegar,” kata anak kecil itu pada pertapa.

“Salam,” jawab pertapa itu singkat.

Ekspresi pertapa tua memandang Tegar bagai menyimpan suatu rahasia. Dia banyak berpikir dan bergumam tidak jelas seperti berkata pada dirinya sendiri. Pandangannya banyak menerawang dan melamun.

“Silahkan tuan pertapa.. hanya ini yang dapat hamba persembahkan...” Pak Suwiryo menawarkan makanan.

“Terimakasih banyak tuan.. anda baik sekali.. semoga anda dan keluarga anda mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa,” jawab pertapa tua itu. Pertapa tua makan dengan pelan. Perasaaannya gundah dan gelisah. Ada sebuah rahasia yang disimpannya. Saat makan, mata pertapa itu tidak berfokus pada makanan di depannya. Matanya menerawang, teringat kejadian di masa lalu.

“Wahai pertapa mulia.. mengapa tuan terlihat risau? Apakah suguhan saya yang sederhana ini tidak berkenan di hati tuan?” Pak Suwiryo bertanya khawatir melihat ekspresi sang pertapa.

“Bukan.. bukan itu wahai tuan yang murah hati.. pertapa tua ini hanya teringat sesuatu.. hheehhhhhhh...” Pertapa tua itu menarik nafas panjang menghentikan kalimatnya.

“Apakah itu wahai pertapa?” pak Suwiryo menjadi penasaran.

“Anak kecil ini.. apakah ini anak kandungmu?” sang pertapa bertanya pada kepala desa Alas Batu.

“Iya.. ini anak kandung hamba dengan istri hamba, Sulatri,” jawab pak kepala desa.

Pertapa itu memandang tajam mata Sulastri seakan melihat ke dalam jiwanya.

“I-itu benar.. Tegar adalah anak kandung kami.” Sulastri menjadi gugup karena pandangan mata pertapa tua.

“Kapan anak ini lahir? Apa ada yang aneh pada kelahirannya?” sang pertapa kembali bertanya.

“Tegar anak saya.. lahir pada sasih kapitu, malam hari, tepat pada bulan purnama, sembilan tahun yang lalu,” jawab pak Suwiryo.

“Apa tidak ada kejadian aneh sebelum dan sesudah anak itu lahir?” kembali pertapa tua bertanya.

Suami istri keluarga Suwiryo mengingat kejadian saat kelahiran putranya. Sang suami menuturkan kelahiran putranya, Tegar.

Hujan deras turun desa Alas Batu, suara guntur bagaikan saling bersahutan dengan derasnya hujan. Cahaya petir menghiasi langit malam itu. Tak ada seorangpun yang berani keluar dari rumah malam itu, kecuali dua orang pemuda di atas kuda yang berlari cepat membelah hutan di pinggir desa.
Pemuda pertama menghentak tali kekang untuk mempercepat laju kudanya. Temannya mengikuti dari belakang, tak kalah cepatnya. Begitu memasuki desa yang sepi, kedua orang itu mengarahkan kudanya ke arah barat. Tujuan mereka adalah sebuah rumah besar milik kepala desa.

Pemuda pertama segera menghentikan kuda begitu memasuki pekarangan rumah besar itu, meloncat dari kudanya dan berlari ke dalam rumah. Temannya yang datang belakangan juga meloncat dan mengikat kedua kuda pada sebatang pohon Waru besar.

“Heeeeghhhhh...” terdengar suara perempuan menahan sakit dari dalam rumah.

“Lastri! Lastri!” pemuda itu berteriak memanggil seseorang begitu memasuki rumah.

Dilihatnya seorang wanita berbaring di atas dipan dengan ekspresi wajah kesakitan. Perut wanita itu besar ditutupi kain hingga ke kaki. Kakinya menekuk di atas dipan. Disebelah wanita itu, ada seorang wanita tua sedang memegangi tangannya.

“Heeeeeghhhh..”, wanita yang berbaring itu kembali menahan kesakitan.

“Lastri? Kamu tidak apa-apa?” laki-laki itu bertanya khawatir.

“Sssttt.. kamu tunggu di luar dulu Wir..” kata wanita tua itu.

Pemuda itu mengangguk dan menunggu di luar rumah. Temannya yang baru selesai mengikat kuda, datang menghampirinya.

“Bagaimana den?” tanya temannya pada pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng resah. Sebuah cahaya terang mengerjap di langit, diikuti suara petir yang menggelegar. Pemuda pertama berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Temannya bersandar pada dinding kayu rumah besar itu.

“Sari? Airnya sudah matang??” terdengar suara wanita tua itu dari dalam rumah.

“Belum ndoro.. sedikit lagi..” jawab seorang wanita yang dipanggil “Sari”.

CCTTAAAAARRR! kembali petir menyambar turun ke bumi. Angin bertiup kemcang, membawa bulir-bulir air hujan masuk keberanda rumah, membasahi dua pemuda yang menunggu di depan pintu. Dingin angin bercampur air hujan membuat pemuda kedua merinding. Kedua pemuda itu hanya bisa menunggu dengan gelisah.

“Heeeeggghhhh...” kembali terdengar suara menahan sakit dari dalam rumah.

Petir kembali menyambar. Cahayanya sangat terang, seakan rumah itulah yang disambar petir.

“Ayo Lastri, sedikit lagi.. kamu harus kuat.” Suara wanita tua itu menyemangati orang yang dipanggilnya Lastri.

Kembali cahaya terang mengerjap di langit, kali ini sangat terang, tepat di atas rumah itu.

“Eeeeeghhhhh... heeeegghhhhhh... AAAHHHHHH!” wanita di dalam rumah berteriak kesakitan.

CTTAAAAAARRRRR! keras suara petir menggelegar, bagaikan naga putih turun dari langit, menyambar pekarangan rumah besar kepala desa Alas Batu.
Kedua pemuda yang menunggu di beranda rumah menahan nafasnya, tenggorokan mereka tercekat, mata mereka tak berkedip melihat api berkobar di sekitar tanah perkarangan yang berlubang akibat sambaran petir. Deras air hujan tak memadamkan api di pekarangan rumah.

“Den.. aden..” suara wanita yang memanggil tertahan begitu melihat nyala api bercahaya di pekarangan rumah. Wanita itu diam tak bergeming di depan pintu. Tak ada yang bergerak. Perasaaan kaget, takut dan terpesona bercampur menjadi satu.

“Wiryo.. Wiryoo..” wanita tua di dalam rumah memanggil nama salah satu dari pemuda di luar.

Pemuda bernama Wiryo yang dipanggil, bukannya mendekati arah suara, malah berjalan ke arah lubang yang dikelilingi kobaran api di depannya. Dengan perlahan pemuda itu mendekati nyala api di pekarangan rumahnya. Lama dilihatnya api berkobar seakan melindungi lubang di tanah. Walaupun hujan turun menyiram, api itu tak kunjung padam

“Oooeeeee...oooeee” tangis bayi terdengar dari dalam rumah.

Keajaiban terjadi, api yang mengelilingi lubang di tanah perlahan padam.

“Wiryo.. kamu dimana? Anakmu sudah lahir..” kembali wanita tua itu memanggil Wiryo.

Wiryo tidak menghiraukan panggilan wanita tua itu. Wiryo tetap berjalan mendekati lobang yang kini tidak dikelilingi kobaran api. Dia melihat di dalam lubang itu ada suatu benda diselimuti cahaya putih redup. Diambilnya benda bercahaya redup itu. Cahaya benda itu hilang saat Wiryo memegangnya. Nampak benda berbentuk bulat panjang berwarna hitam dengan ukiran kepala naga pada salah satu ujungnya, mirip seperti gagang keris, namun ini jauh lebih panjang. Rasa dingin merambat dari tangan Wiryo saat memegang benda berukuran satu jengkal itu. Dipandangnya benda itu lekat-lekat, ada perasaan ngeri terlintas dalam pikirannya. Segera Wiryo membungkus benda itu dengan ikat kepalanya.

“WIRYO?! Kamu sedang apa disana? Lastri istrimu sudah melahirkan.. anakmu laki-laki,” hardik wanita tua itu pada Wiryo.

“I-iya bu..” Wiryo menyelipkan benda aneh yang terbungkus ikat kepala pada lilitan kain kain di pinggangnya dan bergegas ke dalam.
“....karena itulah kami menamakannya Tegar, Anak yang lahir di tengah badai dan petir, lahir bagaikan menantang kekuatan alam.” Suwiryo mengakhiri ceritanya.

Pertapa tua itu kembali memandang Sulatri dengan tatapan tajam. Sulastri menjadi salah tingkah. Matanya tidak berani menatap sang pertapa. Suaminya melihat gelagat aneh Sulastri. Kedua tangan suaminya memegang pundak Sulastri.

“Ada apa Lastri?” Pak Suwiryo yang sewaktu mudanya dipanggil Wiryo itu bertanya khawatir pada istrinya.

“Umm... um...” Sulastri merasa bimbang dengan ganjalan di hatinya, “ada yang kurahasiakan padamu mas..."

“Apa itu?” Suwiryo menguncangkan pundak istrinya, “katakanlah...”

“Begini mas... Tegar... sebelum aku hamil, aku bermimpi tentang seseorang...” kalimat Sulastri tertahan.

“Bermimpi apa? Bermimpi tentang siapa? Mengapa kau menyembunyikannya dariku?” Suwiryo memburu Sulastri dengan pertanyaannya.

Tegar hanya melihat dengan polos kejadian antara bapak, ibu dan pertapa tua itu. Pikirannya masih belum mampu mencerna perkataan mereka. Dia hanya bisa membisu melihat titik air di sudut mata ibunya dan ayahnya yang terbawa emosi. Pertapa itu khawatir melihat Suwiryo yang emosi. Tangan pertapa itu memegang pundak Suwiryo untuk menenangkannya. Emosi Suwiryo yang meluap-luap seketika mereda begitu tangan pertapa itu menyentuhnya. Suwiryo melepaskan pegangannya pada pundak istrinya dan menunggu istrinya melanjutkan ucapannya dengan lebih tenang. Tegar melihat ke arah pertapa yang tersenyum kepadanya. Pertapa yang dilihat berpakaian kumal dan kotor oleh orang kebanyakan menjadi orang tua berambut putih panjang terikat dan berjenggot panjang rapi, bajunya pun menjadi putih bersih dan ada semacam cahaya putih di belakang tubuh pertapa itu dalam pandangan Tegar. Secara naluriah tangan Tegar mencakup di depan dada dan badannya agak membungkuk ke arah pertapa.

“Aku bermimpi seseorang dengan cahaya amat terang menyelimuti tubuhnya, telah menyetubuhiku...” kembali suara Sulastri berhenti, air mata mulai mengalit di sudut matanya.

Tegar yang melihat ibunya menangis, memeluk tubuh ibunya.

“Kemudian aku hamil... tapi aku bersumpah mas... Tegar memang anakmu,” kata Sulastri sambil menangis memeluk Tegar.

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema, seakan bicara disamping telinga mereka, “Wiryo... Anak yang lahir dari rahim Sulastri memang anakmu... tapi didalam tubuh anak itu ada kekuatanku... maka anak itu adalah anak Ku juga... Ku utus Mandala Parta untuk membimbing anakmu, untuk menyelesaikan tugasnya di dunia...”

Suwiryo dan istrinya kebingungan mencari sumber suara itu sementara Tegar tetap membisu memeluk ibunya. Penduduk yang asik makan di luar seakan tak mendengar suara keras itu.

“Ini adalah kehendak dewata... Guruku, Begawan Sentigi telah meramalkan sebelum beliau moksa, bahwa aku akan mendapat murid yang luar biasa yang beliau panggil dengan anak takdir.... namaku adalah Mandala Parta,” kata pertapa tua.

“Maksud tuan pertapa?” Suwiryo kebingungan.

“Bisa kau ambilkan benda yang kau temukan di pekaranganmu sembilan tahun yang lalu?” pertapa itu meminta pada Suwiryo.

Suwiryo masuk ke dalam kamarnya dengan rasa penasaran. Kemudian dia membawa keluar sebuah kotak kayu yang terikat tali dari jalinan kulit kayu. Dibukanya kotak kayu itu di depan istrinya, anaknya dan sang pertapa.

“Hanya ini yang saya temukan malam itu,” kata Suwiryo menyerahkan benda hitam mirip dengan tongkat yang ujungnya melengkung dan berukir kepala naga.

Ketika tangan pertapa tua memegang benda pemberian Suwiryo, benda itu tiba-tiba bersinar terang. Warna benda itu berubah menjadi putih perak, ukiran pada permukaan itu terlihat jelas. Nampak ukiran kepala naga bertaring banyak dan sisiknya melapisi permukaan benda itu. Terdapat 2 buah permata berwarna merah menempel di bagian yang seharusnya menjadi mata dari kepala naga.

“Tegar... coba kesini...” sang pertapa memanggil Tegar.

Tegar mendekati sang pertapa tua tanpa takut dan ragu. Pertapa itu memberikan benda di tangannya pada Tegar. Keajaiban kembali terjadi saat Tegar memegang benda tersebut. Dari ujung benda itu, muncul cahaya lurus memanjang berwarna putih kebiruan, benda itu mengeluarkan suara aneh mirip dengan suara gesekan awan mendung di langit. Benda itu, ditambah cahaya lurus, kini menampakan wujud aslinya. Pedang sinar dengan gagang lurus dan melengkung di ujungnya berukir kepala naga bermata permata merah. Ada letupan-letupan kecil di sepanjang cahaya pedang.

Tegar memandang kagum pada benda di tangannya. Suami-istri Suwiryo kaget bukan kepalang, melihat anak mereka memegang pedang bercahaya.

“Inilah Pedang Naga Petir.. pedang dari langit yang turun ke bumi setiap 5000 tahun sekali dengan tujuan dan maksud tertentu... pedang ini turun bersama pemiliknya, si anak takdir...” pertapa tua menyelesaikan penjelasannya saat matanya memandang Tegar.

“Jika memang takdirku menjadi muridmu, bawalah aku sekarang... inilah saatnya, Mandala...” mulut Tegar berucap, tapi suara yang keluar bukan suara anak kecil, melainkan suara seorang pemuda.

Pertapa tua yang bernama Mandala mengangguk dan tersenyum pada Tegar.

“Tapi... tapi...” Sulastri meratap, dia tidak ingin anaknya dibawa oleh sang pertapa.

“Sulastri... ibuku... terimakasih telah melahirkanku ke dunia... aku hanya pergi untuk sementara... untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padaku... nanti aku akan kembali ke rumah ini... kau jangan khawatir ibu, aku akan baik-baik saja...” suara pemuda itu diucapkan mulut kecil Tegar.

Sulastri menangis memeluk anaknya seakan ingin menahan kepergian anaknya.

“Lastri.. jika ini memang suratan takdir dari yang maha kuasa.. biarkanlah anak kita pergi.. relakanlah,” kata Suwiryo menenangkan istrinya.

“Wahai tuan pertapa yang agung.. berjanjilah tuan membawa anakku kembali dengan selamat..” Sulastri memohon diantara tangisnya.

“Aku berjanji padamu,” jawab sang pertapa.

Perlahan, pelukan Sulastri pada Tegar melemah. Pelukan itu terlepas saat tegar melangkah mendekati Mandala, sang pertapa. Tangis Sulastri semakin menjadi mengiringi kepergian putra satu-satunya itu. Suaminya memeluk Sulastri.

Tegar memegang tangan pertapa tua. Sebelum berjalan pergi Tegar sempat menoleh ke belakang, melihat ayahnya memeluk ibunya yang menangis. Pertapa tua menghentak tangan Tegar untuk mengingatkannya pada tujuan yang lebih penting. Tegar mengangguk dan berjalan bersama pertapa tua. Keduanya berjalan sangat cepat, bagaikan angin. Dalam sekejap keduanya menghilang dari pandangan.

Sulastri meratapi kepergian anaknya. Belum rela hatinya melepas kepergian putra satu-satunya itu. Matanya memandang ke arah menghilangnya Tegar dan pertapa. Nanum yang dilihatnya kini hanya penduduk yang masih asik makan bersama. Tak satupun penduduk yang sadar kejadian yang barusan terjadi. 


Bersambung...

0 komentar:

Posting Komentar