Kamis, 22 Mei 2014

Pelet (untuk) Cinta Part II




(PART II)

Aku duduk bersandar di tiang penyangga pos kamling sambil memeluk gitar kesayangan, hidupku terasa tak bergairah. Sejak kejadian di villa anyer, hari terasa silih berganti begitu cepat, rutinitasku berjalan monoton tanpa jeda. Bangun, sekolah, pulang, belajar, pos kamling ditambah dengan makan, minum, tidur dan aktivitas di kamar mandi. Semuanya kulalui tanpa merasakan maknanya. Mungkin memang benar syair dalam lagu yang dinyanyikan Rhoma Irama, “hidup tanpa Cinta, bagai taman tak berbunga...”

            Cinta memang ada dalam hidupku, namun aku yang tak ada dalam hidupnya. Benar kata pepatah, Cinta sejati lebih berarti daripada Cinta palsu. Cinta selalu berkata “sayang”, “love you”, “miss you” dan sebangsanya, namun semua itu palsu. Semua kasih sayang semu itu berasal dari efek minyak pelet yang diberikan Pak Pujo padaku. Terlebih lagi “kejadian” di villa yang membuatku dihantui rasa bersalah padanya. 


            Sudah sebulan ini aku menghindarinya. Sejak dimulainya semester baru, tak sepatah katapun kuucapkan padanya. Dorongan rasa bersalah memaksaku untuk menghindarinya. Malu hati ini untuk bertemu muka dengannya. Di kelas kami berdua bagai sepasang musuh yang duduk sebangku. Berkali-kali Roso dan Togar mencariku dan mengatakan salam dari Cinta yang kusambut dengan tarikan nafas panjang.

            Togar dan Roso juga berkali-kali menanyakan apa yang terjadi, tapi baru kali ini aku tidak menceritakannya pada mereka. Sejak kecil, tidak ada rahasia diantara kami. Togar selalu menceritakan “hot news” pengintipan penghuni baru di kost putri milik ibunya, kami juga tahu Roso masih ngompol sampai kelas 2 smp. Akupun bercerita pada mereka tentang semua masalahku, namun tidak kali ini, aku memendamnya sendiri.

            Sudah dua hari aku tidak masuk sekolah untuk mengurangi rasa bersalahku. Dan dua hari juga aku tidak melihat kedua teman gilaku itu. Mungkin hari ini aku akan menceritakan masalah ini pada mereka dan berharap mereka dapat memberikan solusi. Jujur saja, isi pikiranku sudah diambang batas daya tahanku.

            Sejam aku menunggu, belum muncul juga kedua kawanku ini. kulihat lagi jam yang menempel kalem di pos kamling, ini sudah jam 4 sore, harusnya mereka sudah disini setengah jam yang lalu. Detik demi detik, menit demi menit. Yang kutunggu tak kunjung muncul. Malah seorang mbak pedagang jamu tiba-tiba lewat di depanku dan menawari jamu galian rapet. Ini apa coba??

            Rasa bosan menunggu mulai menyerangku. Kugenggamkan jemari ini pada fret gitar dan memainkan kunci D.

“Dunia ini.. panggung sandiwara.. ceritaaaaaanya mudah berubah.”

            Tiba-tiba terdengar suara nyaring siulan dari arah barat. Kulihat dua sosok berseragam putih abu-abu berjalan ke arahku sambil cengengesan. Yang satu gemuk dan yang satu kurus. Mereka adalah kedua sahabatku, Roso dan Togar.

            “Disini kau rupanya Lay?” sapa Togar padaku.

            Aku hanya tersenyum lemah pada mereka.

            “Kamu udah dua hari ndak sekolah.. dicariin terus sama Cinta,” potong Roso sebelum sempat aku menjawab sapaan Togar.

            “Iya Ros...”aku mengeleng lemah.

            “Ada masalah apa tho kalian?”

            Aku terdiam sesaat, ada rasa ragu untuk menceritakannya pada mereka.

            “Kau bilang saja Lay, siapa tau kami ini bisa membantumu?” kata Togar menepuk pundakku.

            “Sebenarnya.. aku merasa takut..”

            “Takut kenapa kau ini? Masa laki-laki takut?” kata Togar sambil memasukan tangan ke dalam sakunya.

            “Bukan itu Gar... aku merasa bersalah pada Cinta. Aku telah membuatnya menyukaiku dengan pengaruh minyak pelet dari Pak Pujo.”

            “Lha? Terus apa yang bikin kamu takut Dhon?”

            “Di satu sisi aku merasa bersalah padanya, di sisi lain aku takut jika aku mengatakan yang sebenarnya akan membuat aku kehilangan Cinta.”

            Kedua temanku serempak manggut-manggut bagaikan dua orang psikiater yang mulai mengerti dilema kejiwaan yang aku alami.

            “Tapi, kamu benar-benar suka sama dhia tho?” tanya Roso.

            Aku mengangguk.

            “Sayangnya kan kau sama do’i?” kali ini Togar yang bertanya.

            “Iya, aku sayang sama dia... tapi...”

            “Serius sama mbak Cinta?”

            “Iya aku serius, tapi...”

            “Kau tak main-main kan sama do’i?”

            “Aku tak main-main, tapi...”

            Mereka saling berpandangan dan mengangguk satu sama lain. Tiba-tiba dengan gerakan cepat Togar mengambil handphone dari saku celananya dan berbicara pada orang di seberang telepon tanpa memencet tombolnya.

            “Sudah kau dengar kan? Ayo kemari lah.”

            Orang yang diajak menelepon tidak menjawab, hanya terdengar bunyi tanda panggilan dihentikan.

            “Siapa itu?” kataku bingung.

            “Kau lihat sajalah sendiri,” jawab Togar yang diikuti anggukan Roso.

            Pandangan keduanya beralih ke ujung jalan, menunggu seseorang yang mungkin tadi di telepon Togar. Aku yang merasa penasaran, ikut melihat ke ujung jalan. Tak berapa lama sosok putih berambut panjang berjalan dengan cepat mendekat ke arah kami.

            Alamak!! Mati aku. Itu bukan hantu, lebih menakutkan dari hantu. Itu Cinta Laura Kehl, dengan raut wajah paling seram yang pernah aku lihat. Oke, walaupun seram, masih terlihat cantik tentunya.

            Dia marah, dia sedih, dia kesal, dia ingin memakanku hidup-hidup. Semua terlihat jelas pada wajahnya. Ingin rasanya aku lari dari tempat ini, tapi melihat gelagatku, Togar dengan cepat menangkap lenganku dan memandangku dengan senyum liciknya. Siaaaaal!!

            Cinta kini telah berdiri di depanku dan berkacak pinggang seakan menungguku untuk menjelaskan sesuatu. Kedua temanku beringsut ke belakang, seakan mengumpanku pada Cinta yang mengeluarkan aura singa betina lapar ini. Aku hanya menunduk, tak berani memandang wajahnya. Bagaikan terdakwa di depan sang pengadil, tubuhku terasa menciut lebih kecil dari semut.

            Cukup lama suasana hening tak bersuara. Akhirnya kuberanikan mencuri pandang pada wajah gadis di depanku. Sorot matanya tajam memandangku. Alisnya naik sebelah begitu mata kami bertemu. Aku tidak siap jika bertemu dia sekarang. Bagaikan pujangga yang kehabisan inspirasi, otakku sibuk merangkai kata-kata penjelasan untuknya.

            “Cinta... sebenarnya...”
           
            “Jadi...” Cinta memotong penjelasan pujangga gagalku, “selama ini kamu mendekatiku dengan modal minyak pelet?”

            “Iya...” aku mengangguk bagai pesakitan.

            “And then, you think that i had efected by your magic charm??” nada suaranya meninggi.

            Aku kembali mengangguk. Walau tak mengerti benar apa yang dikatakannya.

            “Do you think i am a stupid girl, huh?!!” kali ini suaranya bukan hanya meninggi, tapi melampaui satu oktav.

            Aku hanya menggeleng dan masih menunduk.

            “Kita ke rumah Mr. Pujo....”

            “Iya...” aku masih menunduk.

            “NOW!!” Cinta menarik lenganku dengan keras.

            Aku, Roso dan Togar mengantarkan Cinta yang menggandeng lenganku menuju rumah Roso. Sepanjang perjalanan orang-orang melihat kami, tiga orang pribumi berjalan bersama gadis setengah bule, dengan heran. Mereka menunjuk aku yang digandeng oleh Cinta. Mereka tidak tahu, tangan Cinta yang menempel di lenganku, berkali-kali mencubitku sepanjang perjalanan. Aku meringis dalam penyesalan.

           
~****###****~

            “Pak... Pak...” Roso masuk mendahului kami, memanggil bapaknya.

            “Ono Opho tho Le?”

            “Ngene pak....” Roso membisikan beberapa kalimat pada Pak Pujo.

            Pak Pujo melihat ke arah kami sambil mengangguk tenang, berkebalikan dengan raut wajah Roso yang menjelaskan duduk permasalahan kepada bapaknya dengan aura “siaga satu”.

            Pak Pujo mendekati kami sambil tersenyum. Beliau menyalami kami satu per satu. Aku yang sudah tak sabaran, segera membuka suara untuk meminta tolong padanya, “Begini Pak...”

            “Did you make that magic charm for Dony?” potong Cinta.

            “Yes, I do,” jawab Pak Pujo tenang.

            Aku, Togar dan Roso saling berpandangan.

            “Pak’e iso ngomong mbule tho?” tanya Roso heran.

            “Yo iso tho Le... jamanne wes nganggo ipad, moso yo ra iso?” jawab Pak pujo.

            “Jadi, Bapak bisa bantu saya??” tanya Cinta.

            “Sebenarnya minyak pelet itu...”

            “Bukan... bukan itu, saya mau bapak membuatkan beberapa minyak pelet lagi buat Dony, biar nanti bisa pelet saya lagi.”

            Pak Pujo tersenyum mendengar permintaan Cinta, aku terkejut bukan main, sementara Togar dan Roso yang tidak mengerti hanya bengong.

            “Jadi kamu bukannya mau disembuhin sama Pak Pujo??” tanyaku heran.

            “Yang bilang aku mau disembuhin siapa ha?”

            “Jadi..” aku menunjuk padanya yang dijawab anggukan dan senyum termanis oleh Cinta.

            “Aku udah suka sama kamu dari dulu, cuma kamunya ga mau deketin aku, jadi aku nungguin kamu.”

            “Jadi...”

            “Iya bebh,” jawab Cinta yang kembali menggandeng lenganku.

            “YESSS!!” aku berteriak keras sambil mengepalkan tanganku ke udara, persis seperti pemain bola yang baru mencetak gol. Rasa senang luar biasa merasuk dalam hatiku. Apabila ini adalah cerita di film Bollywood, sekaranglah saatnya musik berputar dan kami menari dan bernyanyi berpasangan dengan Togar, Roso, Pak Pujo dan penduduk kampung sebagai penari latarnya.

            Pak Pujo menggeleng melihat kelakuan Dony dan Cinta. Perlahan Roso dan Togar mendekati Pak Pujo.

            “Pak.. ehmm... bisa aku minta dikit minyak peletnya? Ada cewe cantik di sekolah yang aku taksir,” kata Togar malu-malu.

            “Bisa... bisa,” jawab Pak Pujo.

            “Ahh, serius ini pak?” wajah Togar berubah cerah.

            “Bisa Ghar.. kamu mau merk apa? Bimoli? Filma? Atau yang tradisional, minyak kelapa?”

            “Bukan minyak goreng pak, minyak pelet yang Pak Pujo kasi buat si Dony.”

            “Ya itu yang saya kasi kemaren.”

            “Jadi si Dony??”

            Pak Pujo tak menjawab, hanya mengangguk dan tersenyum.


TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar