Rabu, 24 September 2014

Alexander Vampire Hunter (Part 2)

PART II





Trier, Jerman Dua belas bulan yang lalu...

Seorang laki-laki di depan tiga buah nisan di dalam halaman sebuah rumah besar mirip kastil dengan empat buah menara tinggi. Laki-laki itu membawa tiga kuntum bunga lili di tangannya. Rumah besar itu milik keluarga Van Hellsing dan yang berdiri di halamannya adalah keturunan terakhir keluarga itu, yang bernama Alexander Van Hellsing II. Alexander menaruh satu kuntum bunga pada masing-masing makam di depannya. Makam yang paling kanan berukir nama : Alexander Van Hellsing, sebuah makam simbolis tanpa jasad. Makam yang di tengah berukir nama Abraham Van Hellsing III yang merupakan adik kembar dari Alexander Van Hellsing. Dan makam paling kiri berukir nama Caroline van Hellsing. Ketiga makam itu adalah milik orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan Alexander. Makam paman sekaligus mentor dan ayah angkatnya serta makam ayah dan ibunya berjejer di depannya. Alexander berlutut di depan tiga nisan keluarganya. Kepalanya menunduk memandang topi lebar yang dipegang di dadanya. Rasa sedih bercampur dengan dendam dan amarah beraduk dalam hatinya.

“Aku berjanji..” Alexander membuka suara, “kematian kalian pasti akan ku balas.”


******AVH****** 

Edinburgh, Skotlandia Dua bulan yang lalu...

Alexander membelokkan langkahnya menuju sebuah cafe bercat merah cerah dengan dinding kaca besar memamerkan keramaian pengunjung yang mampir untuk menghindari hujan hari itu.
Langkah Alexander terhenti melihat sebuah tulisan pada sudut bawah kaca depan kafe itu. “The elephant House Birthplace of Harry Potter Now selling draugh beer” Alexander tersenyum mengingat novel fiksi tentang penyihir muda yang menghadapi takdir harus melawan penyihir paling ditakuti oleh penyihir lainnya.
Bugh! seseorang menabrak bahu Alexander dari belakang. “Maaf tuan.. saya tidak sengaja..” kata seorang gadis berkulit putih berwajah Asia mengenakan seragam sekolah putih berpadu dengan rok dan dasi bercorak hitam bergaris putih kepada Alexander.

“Tidak masalah.. saya yang menghalangi jalan,” jawab Alexander yang menyadari tempatnya berdiri.

“Saya kok yang salah.. saya terlalu terburu-buru,” gadis itu menggaruk kepalanya dan menunduk.

Alexander hanya tersenyum melihat tingkah lucu gadis didepannya. Mereka berdua memasuki kafe, Alexander duduk di meja kosong dekat dinding kaca, sementara gadis itu tampak berbicara dengan barista. Suasana kafe yang ramai tidak mengurangi kenyamanan Alexander yang bersandar di kursi memandang panorama kastil Edinburgh.

“Umm.. maaf.. boleh saya ikut duduk disini? Umm.. tidak ada meja yang kosong jadi..” gadis berseragam tadi membuyarkan lamunan Alexander

“Oh.. boleh saja.. silahkan.” Alexander tersenyum pada gadis itu.
Gadis itu menggeser kursi dan duduk di depan Alexander dan mengeluarkan smartphone layar sentuh dari dalam tas dan meletakannya di atas meja.

“Saya lagi nungguin temen.. janjinya datang jam tiga .. sampe jam segini belum keliatan juga.. payah..” gadis itu berbicara panjang lebar.

Alexander tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Saya Alexander.. Alexander Van Hellsing”. “Oh iya.. maaf.. saya Fiona Pratiwi,” gadis itu menyambut tangan Alexander.

“Pratiwi?”

“Iya.. saya dari Indonesia.. ayah saya bekerja di kedutaan Indonesia di London.”

“Kamu tinggal di asrama?” Alexander menunjuk pakaian Fiona.

 “Iya... saya sekolah di asrama Edinburgh..” jawab Fiona menunjuk logo “Edinburgh Highschool” di kantong bajunya.

Seorang pelayan wanita berseragam hitam menyela pembicaraan mereka, “selamat sore, ada yang bisa dibantu?”.

“Saya pesan Cafetière of Coffee yang javanese ya.. sama Hot Fudge Brownie,” Fiona memesan kopi hitam jawa dan brownies dengan eskrim dan saus coklat.

“Saya Café au Lait satu,” jawab Alexander singkat.

“Baik tuan dan nona.. harap menunggu sebentar” kata si pelayan dengan ramah.

“Eh, bap.. um.. om.. um.. tuan Alexander kesini untuk berlibur?”

“Alex.. panggil saja aku Alex.. bagaimana kau tahu aku bukan orang Inggris?”

“Logatmu terdengar seperti orang Jerman atau Belgia”

Alex tersenyum, “aku kemari untuk urusan bisnis.”

“Ohh ya? tapi tampangmu mirip pembunuh bayaran.. hahhaha..” kata Fiona yang melihat Alex mengenakan mantel kulit hingga selutut, kalung salib dari besi, sepatu boot coklat dan berambut gondrong.

“Bisnisku memang berkaitan dengan orang mati.”

“Kamu serius?! Keren!!” mata Fiona berbinar.

“Aku menjual peti mati.”

“Owwh... aku kira kau memang pembunuh bayaran atau pemburu vampir..”

Seorang wanita berambut pirang terikat yang mengenakan sweeter hitam mengetuk dinding kaca dari luar. Fiona tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Gadis itu pun masuk ke dalam cafe. “Pacarmu? Keren juga..” tanya gadis itu pada Fiona.

“Bukan kok.. bukan..” Fiona tersenyum namun wajahnya bersemu merah.

“Hahahhaha.. carilah pacar Fii.. kau tidak mau jadi perawan tua kan?”

“Haha,” Fiona tertawa hambar. Alexander tersenyum melihat dua gadis remaja berbeda ras di depannya.

“Alex, ini Nathalie.. Nath, ini Alex..” Fiona memperkenalkan kedua kawannya.

“Halo.. nama saya Nathalie Crutchlow..”

“Alex.. Alexander Van Hellsing,” jawab Alex menyalami Nathalie.

“Van Hellsing? apa kau.. “

“Bukan.. hanya namanya saja yang sama..”

“Owwhh.. jadi kalian.. sudah berapa lama?” kata Nath menunjuk Alex dan Fiona bergantian. Fiona mendelik pada kawannya, “Nath!!”

“Bukan.. kami baru berkenalan beberapa menit yang lalu..” jawab Alex tersenyum.
Pelayan cafe datang membawakan pesanan Alex dan Fiona. Dia menaruh secangkir kopi dengan krim di depan Alex dan kopi hitam bersama brownies di depan Fiona.

“Nath? Kamu ga mau minum?” Fiona menawarkan pada temannya.

“Ga usah, aku buru-buru.. ada janji sama George,” jawab Nath mencari sesuatu dalam tasnya.

“Ok.. tapi besok temani aku ke London,” kata Fiona.

“Iya.. nih aku kembalikan,” Nath menyerahkan sebuah flashdisk putih pada Fiona, “Aku pergi dulu, George sudah menungguku di halte... senang bertemu dengan mu Alex.. kapan-kapan kita mengobrol...”. Nathalie pergi meninggalkan mereka berdua.
Suasana canggung menyelimuti Alex dan Fiona. Alex menyeruput kopinya dan mulai bertanya pada Fiona.

“Jadi.. apa rencanamu? Tampaknya hujan sudah mereda.”

“Um..” bibir Fiona meruncing, “aku tidak tahu..”

“Bagaimana jika kau menemaniku berkeliling Edinburgh? Aku baru sampai disini kemarin.. itupun jika kau tidak keberatan.

“Um.. boleh.. kita mau kemana?” kaki Fiona berayun-ayun di bawah meja.

“Hahahha.. aku tidak pernah kemari sebelumnya...”

“Oh.. maaf.. maaf..” Fiona menggaruk kepalanya ,“um.. bagaimana kalau kita ke kastil Edinburgh? Kau sudah pernah kesana?”

“Belum..” Alex menggeleng, “baiklah ayo kita kesana.”

“Sekarang? Tapi aku belum menghabiskan makananku..” Alex tertawa mendengar alasan Fiona yang lugu,

“Baiklah.. nikmati makananmu.. aku menunggu.”

******AVH******

Edinburgh, Skotlandia sebulan yang lalu...

Alexander terbangun dari tidurnya karena matahari masuk menyilaukan matanya. Bayangan samar sesosok tubuh duduk di pinggir ranjang mulai jelas setelah Alex mengerjapkan mata beberapa kali untuk mencari fokus pandangan.

“Kau sudah bangun Alexander?”

“Fiona?!” Alex terkejut melihat Fiona yang duduk mengenakan jeans dan tanktop hitam sedang menggosok pistol berwarna hitam berhiaskan ukiran berwarna emas dengan secarik kain putih.

“Aku sudah tahu apa yang kau alami... Lou menyuruhku membantumu,” kata Fiona tanpa memandang Alex yang masih keheranan.

“Tapi kau...” suara Alex terhenti begitu telunjuk Fiona menempel di bibirnya.

“Lou... dia membuatku memiliki kemampuan setara denganmu, kini aku juga bisa memburu nosferatu.”

“Tapi ini urusanku, kau tak udah ikut campur,” kata Alex.

“Kau mengadakan perjanjian dengan Lou dan aku adalah solusi yang dia berikan... kalau kau ingin membunuh Adolfo, kau harus menerima bantuanku... itu terserah kau saja,” Fiona tersenyum pada Alexander. Alexander sekilas melihat senyum Fiona berubah. Bukan senyum gadis remaja polos yang dia temui beberapa waku lalu. Dengan eye shadow hitam menghias garis matanya, ditambah lipstik hitam terpoles di bibirnya, senyuman Fiona sekarang lebih mirip dengan senyuman Lou.

******AVH******

Edinburh, Skotlandia Hari ini, 17.00

Alexander membuka sebuah kotak yang berisi beberapa botol kecil yang diletakan berjejer, tiga buah pasak, sebuah palu, sebuah kompas, dua buah lilin, sebuah wadah emas yang berisi air suci dan sebuah pisau dari bahan perak.

“Hehehe... banyak sekali peralatanmu?” Fiona terkekeh melihat isi kotak milik Alexander.

“Ya, ini yang aku perlukan untuk membunuh Adolfo.”

“Kalau aku, cukup dengan dua benda ini,” Fiona mengeluarkan sebuah pecut dari kulit dan sebuah pistol hitam berpelatuk emas.

Alexander mengangkat sebelah alisnya, seakan berkata “terserah kau saja."

Kedua pasangan pemburu vampir ini menyiapkan alat tempurnya masing-masing. Beberapa jam lagi mereka akan menghadapi Adolfo, vampir yang berusia lebih dari lima abad yang telah membunuh tiga anggota keluarga Alexander. Alexander mengambil pisau perak dan mencelupkannya pada air suci.

“Dimana?” Alexander memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.

“Malam ini, dia akan muncul di Bannerman’s Bar... kita akan membunuhnya disana,” nada suara Fiona mulai terdengar serius.

“Apa kau yakin? Dua tahun terakhir aku memburunya, dari Jerman sampai ke Skotlandia ini tapi hasilnya nihil,” kata Alex sambil memasukan beberapa botol bening kedalam saku mantel kulitnya. Fiona memandang tajam dan tersenyum pada Alexander, “Lou sendiri yang akan mengundangnya.”

“Baiklah, kita berangkat dua jam lagi,” Alex membuka lembaran sebuah buku bersampul kuning dengan tulisan “Art of War” pada sampulnya.

“Aku akan pergi sekarang...” jawab Fiona “Kau tidak ikut bersamaku?”

“Tidak, aku harus menemui seseorang.. berjaga-jaga jika rencana kita gagal.. kalau aku belum datang, seranglah dia setelah seorang wanita bergaun merah keluar dari bar.. itu adalah kode dari Lou.”

“Baiklah,” pandangan mata Alexander mengikuti Fiona hingga gadis itu keluar dari kamar.

******AVH******

Edinburh, Skotlandia Hari ini, 21.00

Alexander berdiri agak lama di depan pintu Bannerman’s Bar. “Hari ini.. akan kutuntaskan dendamku.. kau harus mati Adolfo...” Alexander berkata pada dirinya sendiri. Alexander melangkah memasuki bar dan memilih tempat duduk di sudut kanan bar yang labih gelap untuk menutupi kehadirannya. Alexander memesan segelas Martini dengan dua buah zaitun dan membaca buku bersampul kuning yang dibawanya. Mata Alexander memperhatikan tiap orang yang ada di bar. Tampak olehnya dua orang wanita berambut pirang, memakai pakaian ketat dan sexy duduk di dua meja darinya. Dari cara mereka berbusana tampaknya mereka adalah dua orang pelacur yang menunggu mangsa. Sekumpulan orang yang mengenakan kaus sepakbola merah tua dengan dua garis pala lengannya lengkap dengan syal dan topi berlogo hati, duduk di kursi di depan bartender. Mereka ribut membicarakan klub kesayangannya, Hearth of Midlothian yang menang atas rival satu Kota , Hibernian FC.Tidak ada tanda-tanda Adolfo. Alexander menunggu kedatangan musuh besarnya dengan sabar. Yang dikhawatirkannya bukanlah Adolfo, tapi Fiona yang tak kunjung muncul. Buku yang dipegangnya tak dibaca satu kata pun, begitu juga segelas martini yang menghiasi mejanya yang tak di sentuhnya. Pikiran Alexander terpecah oleh absennya Fiona malam itu.

Cling!! suara lonceng penanda tamu masuk ke dalam bar berbunyi saat seorang laki-laki bermuka pucat membuka pintu bar dan duduk di sudut bersebrangan dengan Alexander. “Adolfo!!” Alexander berteriak dalam hati, matanya melotot penuh amarah. Jika tidak mengingat rencananya denga Fiona, mungkin Alexander sekarang telah menyerang Adolfo dengan membabi buta. Adolfo mengangkat tangannya yang disambut anggukan kepala dari bartender. Tak berapa lama, seorang pelayan membawakannya segelas minuman kental berwarna merah pekat, yang diyakini Alexander adalah darah manusia. Rupanya Adolfo adalah pelanggan tetap di bar ini. “Mengapa Fiona merencanakan penyerbuan disini? Apakah dia tidak tahu kondisi bar ini? ataukah dia sengaja menjebakku?” segala macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Alexander.

Saat Alexander menghidupkan sebatang rokok, tiba-tiba terdengar suara lonceng penanda tamu berbunyi lagi. Seorang wanita cantik bergaun merah gelap memasuki ruangan dan berjalan ke arah Adolfo. “Lou..” Alexander berbisik nyaris tak terdengar, namun wanita itu melambaikan tangannya ke belakang, seakan melambai untuk Alexander. Mata Alexander mengawasi Adolfo dan wanita itu sedang berbicara. Sedetik kemudian wanita itu berjalan meninggalkan Adolfo dengan ekspresi wajah ketakutan. Sesaat sebelum membuka pintu bar, wanita itu mengedipkan matan kananya pada Alexander. Dengan sebuah gerakan cepat, Alexander mengeluarkan sebuah pistol dengan laras agak panjang sambil berdiri dan membidikannya pada Adolfo.

DOR!! Adolfo memiringkan badannya, namun terlambat, peluru perak telah merobek jas pada bahunya yang kini mengeluarkan asap. Adolfo membuka mulutnya dan memamerkan gigi taringnya yang memanjang. Pengunjung bar yang ketakutan berteriak dan berlari ke arah pintu keluar. Bartender dan pelayan bar menonton dari balik meja bartender dengan ekspresi wajah datar. Alexander berjalan maju sambil menembakan pistolnya pada Adolfo yang begerak menghindar. Beberapa peluru mengenai Adolfo dan membuat badannya berasap. “Cklik cklik...” tampaknya peluru dalam pistol Alexander telah habis.

“Khaaarrrhhhh!!!” suara teriakan mirip desisan mengerikan keluar dari mulut Adolfo saat meminta bantuan pada bartender. Bartender dan pelayannya menggeleng dan tersenyum dengan kompak pada Adolfo. Rupanya bartender dan pelayan itu tidak ingin mencampuri urusan Alexander dan Adolfo malam itu. Mereka berjalan ke belakang bar meninggalkan Adolfo sendirian. Alexander melemparkan pisau peraknya ke arah dada kiri Adolfo. Dengan sigap Adolfo menangkap pisau lemparan Alexander tepat sebelum mengenai dadanya. Tangan kanan Adolfo yang memegang pisau mengeluarkan asap.

“Air suci Vatikan?” Adolfo yang terkejut segera melempar pisau menjauh dari tangannya yang mulai mengeluarkan api. Alexander kembali melemparkan sebuah pisau pada Adolfo. Adolfo meloncat dan menempel di sudut atas ruangan bar. Secepat kilat Adolfo mendorong kakinya dan meluncurkan badannya ke arah Alexander. Alexander yang terkejut tidak sempat menghindar. Tangan kanan Adolfo yang melepuh kini telah mencengkram lehernya. Adolfo mengangkat tubuh Alexander dengan mudah. Tangan Alexander memegang tangan Adolfo, mencoba melepaskan cengkraman pada lehernya. Kaki Alexander bergerak-gerak di udara, menendang badan Adolfo. Alih-alih merasakan kesakitan, Adolfo diam tak bergeming.

“Kau!!” Adolfo berteriak pada Alexander, “keturunan terakhir Van Hellsing.. sekarang kalian akan punah!!”.

BRUAK!! sekelebat sosok makhluk besar berbulu mendobrak pintu bar dan menerjang Adolfo. Cekikan Adolfo pada Alexander terlepas. Adolfo dan sosok makhluk besar itu berguling-guling menabrak meja bartender hingga hancur.

“Kau tak apa apa?” Fiona mendekati Alexander yang berbaring terbatuk memegang lehernya.

“Uhuk uhuk.. Apa itu?” tanya Alexander.

“Manusia serigala,” jawab Fiona sambil tersenyum.
Alexander melihat dengan seksama pada Adolfo yang kini bergulat dengan makhluk besar berbulu abu-abu dengan kepala mirip serigala. “Dimana kau bertemu makhluk itu?”

“Lou yang mencarikannya untukku, kunamai dia Wolfie.. lucu bukan?” jawab Fiona yang kini membidikan pistolnya pada Adolfo.

Manusia serigala yang dinamai Wolfie memukulkan kepalannya pada Adolfo. Pukulan Wolfie telak mengenai wajah Adolfo. Tinju membabi buta dari Wolfie membuat Adolfo kewalahan. Tangan Adolfo mencekik manusia serigala itu begitu menemukan celah dan langsung melemparkannya. Tubuh Wolfie yang besar terhempas membuat lubang besar pada dinding batu bar. Adolfo yang marah, segera bangkit dan melayang di atas lantai bar. Fiona menembakan senjatanya beberapa kali, namun dapat dihindari Adolfo si vampir. Alexander dengan sigap mengambil beberapa botol kaca yang terikat pada sabuk Fiona dan melemparkannya ke plafon bar. Botol-botol air suci yang dilempar Alexander pecah tepat di atas kepala dan menguyur tubuh Adolfo. Kepulan asap memenuhi ruangan. Tubuh Adolfo yang jatuh ke tanah diselimuti tabir asap.

“Khrraaaaaahhhh!!!!” jerit mengerikan datang dari arah jatuh tubuh Adolfo.

Alex dan Fiona menunggu apa yang akan terjadi. Mereka tidak berani bertindak gegabah, bisa saja Adolfo menyerang dari balik kepulan asap. Tanpa mereka duga, Wolfie datang berlari menerjang kepulan asap. Kelebat bayangan bergulat sengit terhalang asap. Suara pukulan dan erangan, serta suara anjing kesakitan terdengar dari pergumulan kedua makhluk yang sering disangka mitos itu. Perlahan tabir asap memudar dan pemandangan mengerikan terlihat. Wajah tampan Adolfo berubah menjadi mengerikan dengan rambut tipis yang mencuat dari kulit kepalanya yang melepuh kemerahan. Jasnya terbakar memperlihatkan kulit badannya yang melepuh kemerahan. Darah segar memenuhi mulut dan dagunya. Telinga kanannya mengalami luka robek seperti habis tergigit.

“Wolfie!!” Fiona berteriak ngeri melihat manusia serigala, kawannya, merangkak dengan bahu bersimbah darah. Tubuh Wolfie bergetar, perlahan tubuh besarnya mengecil, hidungnya memendek dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya rontok. Wolfie yang tadinya bertubuh besar berbulu, telah bertranfosmasi menjadi sosok laki-laki kurus dengan rambut dan cambang yang tidak beraturan. Alexander menahan Fiona yang hendak mendatangi Wolfie yang berada terlalu dekat dengan Adolfo. Mata Adolfo yang berwarna merah menatap jijik pada sosok manusia Wolfie. Adolfo menendang tubuh Wolfie yang tak berdaya. Tubuh lemah itu terpental menghancurkan jendela bar hingga ke jalan. Fiona begitu marah melihat kawannya yang tak berdaya ditendang oleh adolfo, mencabut sebilah parang yang tersarung di pinggangnya dan berlari menyerang Adolfo. Tebasan Fiona mengincar leher Adolfo.

“Tidak semudah itu,” Adolfo menggeleng saat tangan kirinya menahan pergelangan tangan kanan Fiona yang memegang parang. Adolfo mengayunkan pukulan tangan kanannya yang telak mengenai perut Fiona, membuat Fiona terpental ke samping menghantam dinding. Darah segar keluar dari mulut Fiona. Alexander memasang brass knuckle berukir salib pada kedua tangannya dan maju menerjang Adolfo dan menindih lawannya. Alexander mulai memukuli kepala vampir itu. Pukulan brass knuckle Alexander membuat pipi Adolfo meleleh. Adolfo tak tinggal diam, kedua tangannya bergerak memegang lengan Alexander dan mendorong laki-laki itu. Alexander terhempas ke belakang. Dilihatnya Adolfo telah berdiri dan mendekatinya. Dibelakang Adolfo sosok Fiona memegang kursi yang terangkat dengan kedua tangannya.

BRAKK!! Fiona menghantam leher Adolfo dengan kursi. Hantaman Fiona yang telak mengenai Adolfo membuat kursi kayu itu hancur berkeping-keping. Alih-alih merasa kesakitan, Adolfo malah berbalik dan menyerang Fiona dengan hujaman kukunya. Fiona menunduk menghindar dan sekuat tenaga mendorong tubuh Adolfo dengan pundaknya. Adolfo yang tubuhnya terbawa dorongan Fiona, menghantam punggung gadis itu dengan kedua kepalan tangannya. Kembali tubuh indah Fiona jatuh mencium lantai.

“Ugh!” Fiona menahan sakit pada tubuhnya. Alexander tiba-tiba meloncat dari belakang danmendekap tubuh Adolfo dari belakang saat kakinya bergerak ke belakang mengambil ancang-ancang untuk menendang Fiona. Tubuh Adolfo berputar limbung mencari keseimbangan. Tangan kiri Alexander menjepit erat leher Adolfo sementara tangan kanannya memukuli kepala Adolfo. Dengan gerakan berputar Adolfo berharap Alexander melepaskan dirinya. Alih-alih melepaskan, kaki Alexander mengait pada pinggang Adolfo untuk mempererat pegangannya pada vampir itu. Adolfo dengan geram meloncat tinggi dengan punggung menghadap plafon bar. Tubuh Alexander yang mendekap Adolfo, menghantam plafon. Pegangan Alexander terlepas begitu kaki Adolfo menjejak di tanah. Alexander jatuh kesakitan memegangi punggungnya. Adolfo mengangkat kerah baju Alexander dan meluruskan kuku jari tangannya yang tajam dengan leher Alexander. Saat hendak menusukan kukunya pada Alexander, sebuah pasak menghujam pada punggung kiri Adolfo.

Dengan tubuh gemetaran, Adolfo membalik badannya dan mencekik leher orang yang menusuk punggungnya, yang tidak lain adalah Fiona. Tangan Fiona mencoba melepaskan jari-jari Adolfo yang mencekik lehernya. Rupanya pasak yang ditusukan Fiona menancap kurang dalam. Tangan adolfo mencengkram erat leher Fiona hingga gadis itu mengeluarkan suara tercekik. Adolfo menyerang perut Fiona dengan tusukan kuku tajamnya. Alexander bergegas bangun, mengangkat kursi kayu dan memukulkannya pada pasak yang menancap di punggung Adolfo. Tusukan Adolfo merobek masuk ke dalam perut Fiona, darah mengalir dari mulut gadi itu bersamaan dengan pukulan kursi pada pasak di punggung Adolfo. Adolfo rubuh bersama tubuh Fiona. Perlahan tubuh Adolfo berubah menjadi abu di lantai bar. Alexander berlutut memeluk tubuh Fiona.

“K-kit-ta... m-me-nang...” “Iya... Iya... Kita menang...” Alexander mengangguk pada Fiona. Tak terasa air mata meleleh di sudut mata Alexander. Tangan kiri Fiona terangkat, mengusap air mata dari pipi Alexander,

“J-jang-an Men-ang-ngis...”. Tangan Fiona jatuh ke lantai. Matanya memejam, tubuhnya terkulai lemas dalam pelukan Alexander. Alexander memeluk erat tubuh tak bernyawa Fiona, Air matanya mengalir deras mengiringi balas dendam dan kehilangannya malam itu.
Tamat

0 komentar:

Posting Komentar