Kamis, 22 Mei 2014

Alexander Vampire Hunter Part I

Alexander : Vampire Hunter





Seorang laki-laki tampan bermuka pucat memasuki sebuah bar yang terletak di pinggiran kota, berjalan seolah tak seorangpun melihatnya masuk. Dengan mengenakan setelan jas klasik berwarna hitam berkancing keemasan dan celana bahan yang sewarna dengan jasnya, laki-laki itu mengambil tempat duduk di sudut ruangan. Terdapat ukiran huruf Eropa kuno dengan bentuk mirip huruf “S” di kancing emasnya. Rambutnya hitam berminyak dan pendek, layaknya seorang Don pada film Godfather. Matanya biru memandang tajam, membuat setiap wanita yang melihatnya terpesona. Saputangan putih mencuat lancip di saku jasnya, menambah kesan bahwa dia bukanlah laki-laki sembarangan.



 Laki-laki itu mengangkat tangannya ke arah bartender. Bartender pun mengangguk takzim dan membisikkan sesuatu kepada salah satu anak buahnya. Tak berapa lama, pelayan bar yang berwajah sedikit pucat dengan sedikit garis hitam dibawah mata, mendekatinya membawakan gelas sampanye dengan isi cairan kental berwarna merah. Setelah meletakan pesanan langganannya di atas meja, pelayan itu membungkuk dengan hormat memohon diri. 



Beberapa suporter sepakbola yang berbicara di meja depan bartender tidak memperhatikan tingkah pelayan dan pelanggan yang cukup aneh itu. Begitu juga dua orang wanita berambut pirang yang mengenakan dress dari bahan satin yang memperlihatkan lekuk tubuh indah mereka. Tak seorangpun yang peduli pada laki-laki yang berpenampilan elit di bar kelas menengah ini, kecuali Alexander yang duduk sambil membaca buku bertuliskan “Art of War” di sampulnya, di sudut yang berlawanan dengan laki-laki perlente itu.

Alexander menatap tajam ke arah laki-laki tampan yang sedang menegak minumannya dengan anggun. Matanya yang mengintip dari buku di tangannya, terfokus pada gerak-gerik laki-laki yang dikenalnya dengan nama Adolfo Fico Saverio. Alexander menghisap rokoknya dalam-dalam saat seorang wanita cantik berambut hitam panjang , mengenakan gaun merah gelap selutut mendekati Adolfo. Wanita itu duduk di depan Adolfo.

“Apa kabarmu Lou?” Adolfo memulai pembicaraan.
Waktu berdetak sangat lambat begitu Adolfo mulai berkata. Gerakan orang-orang di sekeliling mereka terhenti tanpa alasan yang jelas.

Wanita itu tersenyum dan menjawab, “Seperti biasa..”

“Nampaknya kau sibuk sekali sampai tak punya waktu lama untuk menemuiku,” kata Adolfo. 

“Yah.. begitulah.. akhir-akhir ini aku membawa banyak orang ke rumahku,” jawab Lou.

“Walaupun kau sibuk tapi aku tak menyangka kau akan menemuiku dengan wujud seperti ini.”

Lou tersenyum, muncul urat-urat hitam di sudut matanya. Suaranya berubah jadi serak dan berdesis saat mengatakan, “kalau bukan untuk menjemputmu, aku akan menemuimu dengan wujud asliku.”

“Menjemputku??” wajah pucat Adolfo semakin pucat mengulang kata yang diucapkan Lou.

“Aku tunggu kau di rumah..” Lou melangkah melambaikan tangannya meninggalkan Adolfo yang memasang wajah ketakutan.

Lou berjalan menuju pintu keluar dengan lambat. Wanita itu menghilang dalam kelebat asap hitam sesaat setelah menutup pintu bar.

******AVH******

Wigtown, Skotlandia
Enam bulan sebelumnya..

Dalam sebuah kamar penginapan yang temaram oleh cahaya lilin, seorang pemuda berambut hitam dengan jenggot dan kumis menghiasi wajahnya duduk bersimpuh membawa buku tebal usang dengan sampul yang mulai terkelupas di tangan kirinya. Di depan laki-laki itu tergambar sebuah hexagram besar dengan kapur di lantai penginapan. Di setiap sudut hexagram terdapat lilin pendek yang cahayanya melambai-lambai.

Pemuda itu mengucapkan kalimat dalam bahasa latin berulang-ulang.

vos venit ad lucem signifer invoco iube ad te principes tenebrarum adiuva me virtúte

Buku tebal yang dipegang pemuda itu bergetar, cahaya lilin bergoyang tanpa hembusan angin. Pemuda itu menjentikkan jempol tangannya, melemparkan sebuah koin berputar di udara. Mulutnya terus komat kamit mengucapkan kalimat yang terdengar seperti mantra. Kepalanya menengadah, matanya fokus memandang koin yang yang berputar melambat. Sepersekian detik, koin itu berhenti berputar dan mengambang dengan posisi vertikal di udara.

Tiba-tiba nyala api keenam lilin padam, digantikan cahaya merah yang muncul dari tengah hexagram yang kini terlihat seperti lubang berwarna hitam. Dua buah tangan muncul dari lubang di tengah hexagram, menggapai dan bertumpu pada lantai. Tangan itu menegang, menahan beban kepala dan badan yang muncul menyusul dari dalam lubang.

Sebuah makhluk setengah badan kini berada ditengah hexagram. Dua tanduk panjang menjulang di kepalanya yang tak berambut, telinganya lancip, wajahnya tirus dihiasi janggutnya hitam memanjang, matanya menatap licik, seluruh tubuhnya berwarna merah kehitaman. Makhluk itu tersenyum memamerkan taring-taringnya.

“Tuhan!! Tidak bisakah kau muncul dengan wujud yang biasa saja?” pemuda itu terkejut melihat makhluk yang muncul di depannya.

“Jangan kau sebut nama itu di depanku, Alexander!!” makhluk memalingkan mukanya, matanya terpejam seakan tidak tahan mendengar kata “Tuhan”

“Baiklah, tapi kau rubah dulu wujudmu yang menjijikan ini” jawab pemuda yang dipanggil Alexander.

Makhluk merah mengerikan yang setengah badan masih berada dalam lubang hexagram itu Menjentikkan jari tangannya. Seketika makhluk itu menghilang. Tiba-tiba lampu kamar menjadi terang dan muncul kepulan asap putih yang seketika berubah menjadi sosok laki-laki tampan dengan rambut lurus agak panjang mengenakan kemeja putih yang tiga kancing teratasnya terbuka, kumis dan jenggot tipis menghias wajahnya. Laki-laki itu menaikan sebelah kakinya.

“Begini lebih baik?” laki-laki itu bertanya pada Alexander.

“Ya.. sedikit lebih modern,” komentar Alexander melihat lawan bicaranya berubah wujud.

“Nah! Bangunlah.. apa yang bisa aku bantu?” kata laki-laki itu sambil tersenyum lebar.

Alexander bangun dan menatap tajam lawan bicaranya, “Adolfo! Aku mau Adolfo, Lou.”.

“Hmm..” Lou tampak berpikir, “baiklah!! Apa yang kau tawarkan sebagai gantinya? Pemujaan? Pembunuhan? Pengkhianatan?” Lou melangkah berputar-putar di depan Alexander.

“Darah, Lou.. darah... darah perawan seorang gadis muda,” jawab Alexander mantap.

“Sssssshhhhpppp” laki-laki yang dipanggil Lou bertingkah seperti menghisap sesuatu dari udara, “baiklah!!”.  

Lou tersenyum lebar, lebih tepatnya menyeringai, saat menyalami tangan Alexander.

“Kalau begitu, aku pergi sekarang.”

Lou menghilang dalam kepulan asap di depan mata Alexander. Dalam hitungan detik detik suasana kamar penginapan kembali temaram dengan cahaya dari enam lilin di setiap ujung garis hexagram.

 ******AVH******

Eisenach, Jerman 
Dua puluh tahun yang lalu... 
 Suasana malam mencekam ditambah dengan alunan deras hujan bercampur petir yang menyelimuti langit kota kecil bernama Eisenach. Lolongan serigala dari arah hutan Thuringen menambah suasana kengerian malam itu. Gemuruh guntur memekakkan telinga, memaksa Alexander kecil yang baru berumur tujuh tahun meringkuk di balik selimutnya. Cahaya kilat berkedip menembus selimutnya dari arah jendela kamar. Alex menarik selimutnya dan melihat bayangan ranting pohon tertiup angin dijendelanya bagaikan cakar-cakar monster raksasa yang akan membawanya ke dalam kegelapan hutan. Kembali Alex kecil berlindung dalam selimutnya. Di tengah ketakutannya, sepintas Alexander mendengar suara barang pecah di antara deras hujan dan gemuruh guntur. Arah suara itu dari lantai satu rumahnya. Alex kecil yang ketakutan namun penasaran, turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamarnya. 

 “DORR!! AAAAARRRGHH!! PRANG!!!” 

Alex mendengar suara letusan, suara jeritan ibunya dan suara barang pecah beruntun dari ruang tamu. Alexander kecil yang mengenakan piyama biru mermotif kapal laut berjongkok mengintip dari celah pegangan kayu tangga rumahnya. Nafasnya tercekat, bibir dan tenggorokannya kering begitu melihat ibunya tergeletak di lantai berlumuran darah dan digigit binatang berbulu lebat mirip anjing dengan telinga berdiri tegak. Sementara disebelah ibunya, Alex melihat seseorang berwajah tampan agak pucat, mengenakan setelan jas berwarna gelap, mencekik ayahnya yang masih memegang sebuah salib besar di tangan kirinya, dan senapan yang biasa digunakannya menembak burung di tangan kanannya. Darah mengucur deras dari leher ayahnya, orang itu tidak mencekik ayahnya, jari-jari tangan orang itu masuk merobek leher ayahnya. Alexander menutup mulut dengan tangan kecilnya, air matanya mengalir, tangisnya tak bersuara. 

 “DOR!! KAING!!” kembali terdengar suara tembakan yang diikuti suara anjing kesakitan. Seorang laki-laki mengenakan jas panjang dan topi fedora dengan hiasan dua tengkorak kecil masuk ke dalam rumah dengan terburu-buru. Begitu melihat laki-laki yang mencekik ayah alexander, laki-laki itu mengambil sebuah botol bulat berukuran kecil berisi cairan bening mirip air dari jasnya. 

 “Sie gehen vampir, gott ist mit mir,” laki-laki bertopi berteriak pada laki-laki berwajah pucat. (Pergilah vampir, Tuhan bersamaku) 

 “Hahahahahahha... Ich habe keine angst,” laki-laki bermuka pucat mengeluarkan suara paraunya. (Hahahahahha... Aku tidak takut) 

 “Gut, wenn so..” laki-laki bertopi melemparkan botol beningnya ke udara dan menembaknya tepat di atas kepala laki-laki berwajah pucat. (Baiklah, kalau begitu..) 

 Cairan yang tadinya mengisi botol itu menghujani laki-laki berwajah tampan. Laki-laki itu jatuh kelantai dan berteriak kesakitan begitu cairan dalam botol mengenai tubuhnya. Sekujur tubuhnya bagaikan terkena air keras, melepuh dan berasap. Alexander melupakan tangisnya melihat kejadian antara kedua laki-laki di ruang tamu rumahnya. Dirinya seakan tak percaya dengan apa yang dilihat dengan mata kepalanya sendiri. 

Wa-warten rache v-Van Hellsing..” laki-laki pucat itu berkata dengan terbata. (Tu-tunggu pembalasanku v-Van hellsing) 

 Alexander terkejut mendengar nama keluarganya disebut. Laki-laki bertopi mengeluarkan pisau dari balik jasnya dan menyerang laki-laki pucat yang tiarap di lantai. Laki-laki pucat itu berubah bentuk menjadi asap putih sesaat sebelum pisau menikam tubuhnya dan menghilang. 

 “Alexander? Alexander? Wo bist du?” teriakan laki-laki bertopi menggema memanggil Alex. (Alexander?Alexander? Kamu dimana?) 

 Alex kecil tidak menjawab. Ketakutan kembali merasuki dirinya. Alexander merangkak mundur perlahan begitu mendengar suara langkah kaki mendekatinya. Air matanya mengalir, tubuhnya gemetaran, jantungnya seakan mau copot saat laki-laki bertopi itu muncul di depannya. 

 “Ahh.. da bist du ja..” laki-laki itu tersenyum lembut pada Alexander kecil yang ketakutan. (Ahh.. disini rupanya..) Alexander menghambur memeluk laki-laki bertopi itu dan menangis sekeras-kerasnya. Laki-laki bertopi itu merupakan kakak kembar dari ayahnya. Namanya sama dengan Alexander kecil yang menyebabkan Alex kecil bernama lengkap Alexander Van Hellsing II.

 ******AVH******

Trier, Jerman 
Dua belas tahun yang lalu.. 
 “Wussss! TAP!” sebuah pisau menancap tepat di tengah papan sasaran kayu, menemani empat buah pisau yang telah menancap sebelumnya dengan jarak yang berdekatan. 

 “Schöne Alexander!! Ihr einwurf direkt am ziel,“ ayah angkatnya berseru menyemangati Alexander. (Bagus Alexander!! Lemparanmu tepat pada sasaran.) 

 Alexander berkonsentrasi membidik sebuah foto yang menempel di papan sasaran dengan pisau terakhirnya. “Wussss! TAP!” pisau yang dilempar Alexander menancap tepat di dada kiri orang yang tersenyum yang ada dalam foto. Menancap di tempat di mana jantung orang itu berada. 

 “Sie sind fabelhaft Alexander.. innerhalb von zwei Monaten kann man ein Messer richtig werfen,” ayah angkatnya memuji alexander. (Kamu hebat Alexander.. dalam waktu dua bulan, kamu sudah bisa melempar pisau dengan benar.) 

 “Ich möchte Adolfo sofort töten, papa!” jawab Alexander dengan nada marah. (Aku ingin membunuh Adolfo segera, ayah!) 

 “Nein nein.. nicht auf diese weise.. Sie müssen warten .. für eine angemessene zeit,” jawab Alexander senior pada anak angkatnya. (Tidak tidak.. bukan begitu caranya.. Kau harus menunggu.. untuk saat yang tepat.) 

 “Aber er tötete meinen eltern!” nada suara Alexander meninggi. (Tapi dia membunuh orang tua ku!) “Du denkst, ich habe nicht das gefühl traurig?” air mata menetes di pipi tua Alexander, “werden wir rache nehmen.. Ich verspreche..”. (Kau pikir aku tidak merasa sedih? kita akan membalas dendam.. aku janji..)

 ******AVH****** 

Linz, Austria 
Dua tahun yang lalu.. 
 Alexander mengintip dari sudut bangunan empat tingkat berarsitektur khas Eropa Tengah, mengawasi laki-laki berkulit pucat yang memeluk seorang gadis muda berambut pirang terurai di tengah sebuah gang sempit di antara dua bangunan besar. Bau aspal basah tersiram rintik hujan bercampur dengan dinginnya malam. Tangan Alexander terangkat mengarahkan sebuah crossbow, membidik punggung sebelah kiri laki-laki yang diawasinya. Alexander menunggu dan mengatur nafasnya selambat mungkin. Malam yang dingin membuat jalanan kota kecil Linz sepi dari manusia. Alexander yang jaketnya basah terkena air hujan, kembali mengintip mangsanya. Dilihatnya laki-laki di tengah gang mencium leher pasangannya. Gadis itu mendesah dan memiringkan kepalanya kekanan, memudahkan laki-laki itu menjalankan aksinya. Tanpa gadis itu menyadari, mulut pasangannya terbuka lebar, gigi taringnya memanjang dan matanya berubah warna menjadi oranye gelap. Laki-laki itu bersiap menancapkan kedua gigi taringnya pada gadis yang malang itu. Alexander muncul dari balik persembunyiannya. 

 “Wuss!! Cep!!” sebuah anak panah menancap di leher laki-laki bertaring. 

 “Aaaaaaaaaaaahhhh!!” gadis muda berambut hitam berteriak melihat leher pasangannya tertembus panah. Gadis itu mundur ketakutan, menyangka pasangannya akan mati. Laki-laki itu mematahkan panah di lehernya dan mencabutnya dengan satu gerakan. Anehnya, tak setetes darah pun mengalir dari leher laki-laki itu, malahan l lubang dilehernya perlahan menutup. 

 “Wusss!!” sebuah anak panah melesat dari seorang laki-laki bertopi lebar dan jaket kulit panjang yang berlari ke arah kedua pasangan, yang tak lain adalah Alexander. Laki-laki bermuka pucat, menangkap anak panah tepat beberapa sentimeter sebelum mengenai dadanya. Dilemparnya anak panah itu melesat kembali menuju pemiliknya. Alexander tetap berlari dan memiringkan badannya menghindari anak panah. 

 “Berhenti disana Adolfo!! Sekaranglah kematianmu!!” teriak Alexander. Laki-laki yang dipanggil Adolfo mendesis memamerkan gigi-giginya. Urat-urat hitam muncul menghiasi wajahnya yang pucat. Gadis berambut pirang yang tadi dipeluk Adolfo berjongkok ketakutan memeluk lututnya sendiri. Seluruh tubuhnya gemetaran, tenggorokannya tercekat. Dia terjebak dalam pertarungan di malam itu. 

 “Wuss wuss wuss!!” tiba-tiba tiga buah pisau melesat dari belakang dan mengenai punggung Adolfo. Seorang laki-laki berambut putih muncul dari belakang Adolfo. Ternyata Alexander tidak sendirian, ayah angkatnya menyusul Alexander keluar dari persembunyian. Adolfo kini dikeroyok dua pemburu vampir. Adolfo yang terkepung dari dua sisi, tak merasa gentar. Kedua tangannya diangkat terbuka di depan wajahnya, kuku-kuku hitam panjang muncul dari jari-jarinya. Adolfo berlari secepat kilat menuju Alexander. Alexander bergegas membuang crossbow di tangannya dan menangkap kedua pergelangan tangan Adolfo, sebelum kuku tajam vampir itu mencabik tubuhnya. 

 “Sekarang papa!!” Alexander berteriak pada ayah angkatnya. Alexander senior melempar sebuah botol bening berisi air suci dan menembaknya tepat di atas kepala Adolfo, “DORR!!” Percikan Air suci menyebar dan menyiram tubuh Adolfo si vampir. Baju dan rambut Adolfo berasap bagai tersiram air keras.

“Aaaaargghhhh!!” Adolfo berteriak kesakitan. Alexander senior berlari mendekat, membawa paku pasak di tangan kanannya. Melihat ayahnya bersiap menikam Adolfo, Alexander mempererat genggamannya pada pergelangan tangan Adolfo. Adolfo menoleh ke belakang, sudut matanya melihat orang tua berambut putih mengangkat pasak, siap menikam. Adolfo bertumpu pada tangannya yang dipegang Alexander dan menendang ke belakang dengan kedua kakinya. Sol sepatu kulit hitam mengkilap telak mengenai dada ayah angkat Alexander yang tidak menyangka lawannya akan menyerang. Tubuh tua Alexander senior terpental ke belakang dan berguling. Darah segar keluar dari mulutnya. 

 “Hmppppphhh!!!” gadis berambut pirang menutup mulutnya melihat Alexander senior terjatuh. Air matanya menetes dari matanya yang mendelik namun tubuhnya terlalu takut untuk bergerak menolong. Begitu kakinya mendarat, Adolfo menggerakkan tangannya ke samping, membuat tubuh Alexander terbang dan terhempas menghantam tembok. “Hahahahha.. aku bukan yang dulu lagi.. air suci macam itu tak mempan padaku,” kata Adolfo pada Alexander yang tersungkur di depannya. Adolfo membungkuk, menghujamkan kuku tajamnya pada Alexander. Kuku jari Adolfo meleset menancap aspal jalan karena Alexander telah berguling menghindar. 

 “TAR!!” sebuah pecut melesat dari belakang Adolfo dan melilit lehernya. Alexander senior menarik pecutnya sekuat tenaga, tapi Adolfo tak bergeming. Tangan kanan Adolfo menggapai pecut di belakang lehernya. Begitu tangannya menggenggam pecut, Adolfo mengayunkan tangannya ke depan. Badan Alexander senior tertarik terbang ke depan bersama pecutnya, lewat di atas kepala Adolfo dan mendarat dengan kepala menyentuh aspal. Darah mengucur dari kepala ayah angkat Alexander yang tak bangun lagi. Alexander marah melihat ayahnya terlempar dan bangun menyerang Adolfo dengan membabi buta. Tinju tangan kanan Alexander yang kalap menghantam wajah Adolfo sekuat tenaga. Alexander lupa siapa Adolfo. Lawannya yang terkena pukulan telak bukannya kesakitan tapi malah tersenyum. Adolfo mengangkat tangannya dan menyerang kepala Alexander dengan kukunya yang tajam. Alexander menghindar ke samping, kuku lawannya hanya merobek tipis pipinya. Alexander menarik pedang di punggungnya dan menyabet leher Adolfo. Tangan kiri Adolfo menahan serangan Alexander, tangan kanannya meluncur ingin merobek perut lawannya. 

 “Hentikan!!” Kedua laki-laki yang bertarung menoleh ke arah suara. Gadis berambut pirang yang ketakutan melihat pertarungan antara vampir dan pemburunya, tiba-tiba berubah menjadi laki-laki tampan berambut lurus mengenakan kemeja putih dengan tiga kancing terbuka. Matanya merah menyala, aura mengerikan menyebar dari sekujur tubuhnya. 

 “Cukup Adolfo.. sekarang kau pergi dari sini..” kata laki-laki itu. 

“Tapi Lou?” Adolfo membantahnya. 

 “Adolfo!!” laki-laki itu membentak Adolfo. Adolfo mendorong pedang yang digenggamnya dan mundur dengan enggan. Setelah membungkuk pada laki-laki yang bernama Lou, Adolfo menghilang dalam kepulan asap. Lou mendekati Alexander. 

 “Kau siapa?” Alexander bertanya pada laki-laki di depannya. 

 “Aku memiliki banyak nama dan panggilan.. kau boleh memanggilku Lou,” jawab Lou. 

“Lou? Namamu sungguh aneh.. tapi terimakasih kau telah menyelamatkanku,” kata Alexander. 

 “Jangan berterimakasih padaku..” Lou menggeleng, tangannya menunjuk ke depan, “berterimakasihlah pada orang itu.. dia membuat perjanjian denganku, aku harus menyelamatkanmu dari tangan Adolfo.. dia menawarkan jiwanya.” 

 Alexander tiba-tiba mengingat nama Lou adalah panggilan untuk Lucifer, penguasa kegelapan. Kengerian melanda dirinya, memikirkan jiwa ayah angkatnya akan dibawa ke neraka oleh Lucifer. 

 “Kau tidak boleh membawanya.. bawa saja aku,” kata Alexander menawarkan diri. Lou menggeleng sambil berjalan melewati alexander, “siapa yang membuat perjanjian, dialah yang harus melunasinya.. tidak ada yang bisa lari dariku.” 

 “Aku mohon.. bawa aku saja...” 

 “Tetap tidak bisa.. bahkan aku sendiri harus mengikuti perjanjian yang kubuat.” 

 Alexander bingung dan takut. Diangkatnya pedang ditangannya dan meloncat untuk menikam mantan malaikat itu. Lou menjentikkan jarinya, tiba-tiba gerakan Alexander terhenti, tubuhnya kaku di udara. Lou berjalan dengan santai ke arah tubuh Alexander senior. Mulutnya bersiul-siul gembira seakan anak kecil yang mendapat mainan baru. 

 “Lou!! Aku lebih muda.. aku lebih kuat menjadi pelayanmu!” Alexander yang tubuhnya kaku di udara berteriak. Lou berjalan mengacuhkan Alexander. 

 “Lou!! Jangan bawa dia!! hanya dia yang aku punya!! bawa saja aku!!” kembali Alexander berteriak. Lou mengambil tangan tua Alexander senior dan menyeret tubuhnya ke ujung gang. “Lou!! Aku mohon!! Jangan bawa dia Lou!!” Alexander berteriak lebih keras. Lou tetap berjalan sambil bersiul menyeret tubuh tua dengan sebelah tangan. Kaki Alexander jatuh ke tanah saat Lou berbelok di ujung gang. Alexander berlari secepat mungkin mengejar Lou yang menyeret tubuh ayah angkatnya. Begitu sampai di ujung gang, Alexander berbelok ke kanan mengikuti arah pergi Lou. Alexander menemukan tak seorangpun ada di jalan. Jalanan itu sepi, hanya beberapa mobil terparkir di pinggir jalan. 

 ******AVH****** 

1 komentar:

  1. What does the game RTP mean in the casino - Dr.MCD
    RTP for casinos is similar 경기도 출장샵 to traditional roulette, but that doesn't 부천 출장샵 change the importance of the 의정부 출장마사지 RTP 광명 출장샵 to 사천 출장마사지 determine which side is ahead of the lines.

    BalasHapus