Selasa, 24 Februari 2015



Naga Petir


Seorang pemuda berbadan kekar tidak memakai baju berjalan selangkah demi selangkah menuruni gunung. Keringat mengucur deras di seluruh badannya. Tangannya memeluk sebuah batu yang bukan main besarnya. Batu besar itu diangkat dan dibawanya berjalan. Di atas batu itu, duduk seorang berambut dan berjanggut putih panjang, badannya kurus berbalut kain putih, lehernya berkalung tasbih dengan biji besar-besar berwarna hitam. Orang tua yang duduk di atas batu dengan memejamkan matanya, sepintas mirip pertapa yang sedang bersemedi.

“Uggghhh.. Guru.. ini sudah ketiga kalinya aku menuruni gunung.. berapa kali lagi?” tanya pemuda itu kepada orang tua yang dipanggilnya guru.

“Kau harus membawa aku naik ke atas lagi, baru kita beristirahat,” jawab sang guru dengan tenang.

Bicara memang mudah, apalagi sambil duduk di atas.. aku yang di bawah membawa batu ini berat.., pemuda itu membathin di antara perjuangannya.

Tak! Kepala pemuda itu mengangguk tiba-tiba, bagai dipukul seseorang yang tak terlihat dari belakang.

Uhh.. kenapa sih aku punya guru yang bisa membaca isi hatiku, rutuk pemuda itu.

“Memang takdir Yang Kuasa bahwa kau harus menjadi muridku,” kata sang guru datar.

Pemuda itu telah naik-turun gunung sambil membawa batu besar, sebesar pelukan tiga orang dewasa yang disatukan, dari sebelum matahari terbenam hingga matahari mulai condong ke barat. Pemandangan tidak lazim ini sering terlihat di sekitar pertapaan milik seorang yang dijuluki Pertapa Putih, karena pertapa itu berambut, janggut dan ber baju serba putih.

Pertapa Putih memiliki seorang murid yang dilatihnya sejak kecil. Dengan didikan keras sang Pertapa Putih, muridnya yang pertama kali datang hanya seorang anak ingusan, berubah menjadi pemuda dengan wajah tampan, berbadan tinggi kekar dan memiliki kesaktian di atas rata-rata. Jarang ada orang yang mampu naik-turun gunung sambil membawa batu sebesar gajah ditambah orang duduk di atasnya.

“Guru… hah hah... aku, aku… sudah kelelahan... hah hah... aku sudah tidak.... tidak kuat lagi... kita selesai disini saja ya…” pemuda itu bicara dengan nafas tersengal-sengal.

“Pertapaan sudah dekat, dari sini kau harus berlari. Kalau tidak, kau tidak dapat makan malam,” kata sang guru.

Mendengar perkataan sang guru, pemuda itu berlari sekuat tenaga. Batu sebesar badan gajah yang sedang dipeluknya, bagaikan sekantung kapas, dibawanya berlari begitu saja. Sekali kakinya melangkah, beberapa meter dilewati. Anehnya, orang tua yang duduk di atas batu, tidak sedikitpun terguncang akibat laju lari pemuda itu. Bila orang yang melihat, pastilah pemuda itu disangka siluman, karena berlari bagaikan setan yang mengambang di atas tanah.

Pemuda itu berhenti tepat di luar halaman pertapaan. Pertapa Putih meloncat turun dari batu tempat duduknya.

“Hari ini cukup sampai disini,” kata sang guru.

“Terimakasih guru.” pemuda itu menjawab dan meletakan batu itu di depan pertapaan.

Mereka berjalan bersama memasuki pertapaan yang tediri dari tiga buah bangunan pondok beratap jerami. Pondok yang tengah adalah tempat Pertapa Putih bersemedi dan beristirahat, yang sebelah kanan adalah dapur dan yang sebelah kiri adalah tempat muridnya
tinggal.

Guru dan murid ini duduk beristirahat di halaman pondok pertapaan. Muridnya mengipas-ngipas tubuhnya yang penuh keringat dengan bajunya.

“Tegar… Besok, sudah saatnya kau meninggalkan pertapaan, sudah saatnya kau mengenal dunia ini... akupun akan pergi ke ke puncak gunung untuk melanjutkan pertapaanku,” kata Pertapa putih.

“Tapi guru… aku harus kemana? Aku tidak kenal siapa-siapa. Rumah orang tuaku pun aku tak tahu jalannya,“ jawab Tegar bimbang.

“Kau sudah kuajarkan hampir semua ilmuku.. ilmu yang kau miliki hanya setingkat di bawahku... walaupun aku bukan yang terhebat tapi aku yakin tidak ada orang di dunia persilatan yang dapat mengalahkanmu dengan mudah... ikutilah kemana langkah kakimu berjalan.” Pertapa Putih meyakinkan muridnya.

“Baik guru.” Tegar tak berani membantah walaupun kerisauan dan kebingungan melanda hatinya.

“Sudah saatnya aku menyerahkan apa yang seharusnya jadi milikmu,” kata Pertapa Putih saat mengeluarkan sebuah gagang tanpa pedang berwarna perak dari balik kain di pinggangnya.

Tegar mengingat kembali kejadian 9 tahun yang lalu. Dia mengingat ayah dan ibunya, serta pedang yang bersinar putih kebiruan saat dipegangnya.

“Pedang Petir ini adalah pusaka langit yang jatuh kebumi menemani kelahiranmu.. pusaka ini sangatlah hebat. Hanya 3 pusaka lain yang dapat menandinginya, yaitu Pedang Langit, Pedang Api dan… Pedang kematian. maka berhat-hatilah menggunakannya.” sang guru menjelaskan.

Tegar hanya manggut-manggut menggaruk dagunya yang tak berjenggot.

“Aku juga akan memberikanmu sesuatu untuk perjalananmu.” sang guru kembali mengeluarkan bungkusan dari balik kain pinggangnya, “bukalah…”

Tegar membuka bungkusan yang diberikan gurunya. Ada seperangkat pakaian berwarna hitam, satu ikat uang kepeng dan sebuah batu pipih sebesar kepalan tangan berwarna putih.

“Guru, ini benda apa?” kata Tegar memegang uang kepeng dan batu putih di tangannya.

“Yang di tangan kananmu dinamakan uang, itu untukmu membeli sesuatu di kota nanti. Yang di tangan kirimu adalah batu penyembuh yang dapat menyerap racun jenis apapun,“ jawab Pertapa Putih.

Tegar hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Sekarang ujian terakhirmu. Peganglah gagang pedang petir ini,” kata sang guru menyerahkan gagang pedang petir pada Tegar.

Tangan Tegar bergetar begitu mengambil pedang petir dari tangan gurunya. Tiba-tiba dunia menjadi gelap gulita. Ada sebuah titik cahaya mendekatinya. Semakin lama cahaya itu semakin membesar hingga terlihat jelas wujud asli cahaya itu adalah seekor naga putih kebiruan dengan tubuh diselimuti petir berkilat-kilat.


Tegar bergidik melihat makhluk besar di depannya. Badan naga itu bergerak di udara, berputar lambat di depan Tegar. Gigi naga itu besar-besar, giginya taring semua. Cakarnya tajam mengkilap. Mungkin dengan sekali serangan Tegar bisa mati seketika.

“Graaaaaaaarrhhhhhh!” Naga Petir meraung keras membuat petir yang menyelimutinya menyambar-nyambar.

“Si-siapa kau?” Tegar memberanikan diri bertanya pada Naga Petir.

“Aku adalah Naga Petir... kekuatanku terikat pada pedang petir yang ada di tanganmu” jawab Naga Petir saat bergerak memutar di udara.

“Bagaimana bisa? Kau mahkluk terbesar yang kulihat.. bagaimana bisa kau ada di dalam pedang ini?” Tegar kembali bertanya.

Naga petir berputar di udara, membuat percikan listrik di udara.

“INDRA!” Naga Petir meraung keras, “beribu tahun yang lalu... aku dikalahkan oleh Indra... dan aku berjanji akan tunduk kepadanya... tapi dia membagi kekuatanku dan mengikat aku di dalam pedang terkutuk itu...”.

Naga petir naik meluruskan tubuhnya, tiba-tiba kepalanya menukik turun dan tersenyum memamerkan taringnya tepat di hadapan Tegar. Tegar memalingkan mukanya, silau akan cahaya putih di dalam mulut Naga Petir.

“KAU!” kembali Naga Petir meraung, “kau adalah si Anak Takdir tapi kau juga adalah manusia lemah… kau tak akan mampu mengendalikan kekuatanku… lebih baik kau buang pedang itu, kau tak pantas!”

Tegar sedikit emosi mendengar ejekan Naga Petir. Giginya mengatup kencang, membuat pipinya agak menggembung. Alisnya hampir menyatu, matanya fokus pada tubuh Naga Petir. Tangan kirinya memerah mengumpulkan tenaga dalam.

“Akan kubuktikan.. AKULAH PENDEKAR PEDANG PETIR!” Tegar meloncat ke depan dan berteriak saat kepalan tangan kirinya menghantam ke arah Naga Petir, “Pukulan Pemecah Sukma!”.

Cahaya merah meluncur cepat dari kepalan tangan Tegar ke arah dada Naga Petir. Naga Petir tidak sempat menghindar. Jurus Tegar menghantam tubuh Naga Petir dengan telak membuat tubuhnya terguncang dan terdorong kebelakang.

“Khe khe khe... hanya itu jurus andalanmu wahai Anak Takdir?” Naga Petir hanya terkekeh menerima serangan Tegar.

Tegar gusar bukan main. Jurus Pukulan Pemecah Sukma yang dapat menghancurkan batu sebesar rumah, mengenai sasaran dan lawannya hanya tertawa sinis.

Lawanku adalah naga... baiklah kalau begitu... Tegar meyakinkan dirinya.

Tangan Tegar mencakup di depan dadanya. Sinar Putih menyelubungi kedua telapak tangannya merambat menutupi tangan dan lengan. Kini kedua tangan Tegar tertutup sinar putih yang menyilaukan.

Jurus Tombak Dewa Pembunuh Naga? Celaka! Naga Petir menyadari bahaya yang akan mengancamnya.

Segera Naga petir berputar-putar di udara, membuat pusaran angin berarus listrik. Tegar kagum melihat pusaran listrik di depannya, namun hatinya tidak takut. Dia mulai meloncat ke udara dan menyerang Naga Petir. Tegar menusukan telapak tangannya bagai menusuk tombak dari udara. Puluhan cahaya putih meluncur deras ke arah Naga Petir yang berputar.

Cras! Cras! jurus Tegar beradu dengan pusaran listrik.

Cahaya putih jurus Tombak Dewa Pembunuh Naga yang dilontarkan kedua tangan Tegar terpental ke segala arah. Pentalan cahaya putih menghilang dimakan kegelapan. Tegar terpana melihat jurusnya terpencar oleh pusaran Naga Petir. Tegar berlari ke arah naga Petir dan kembali menyerang. Naga Petir melihat gelagat Tegar dan menghempaskan ekornya menghantam tubuh Tegar.

Tegar meloncat menghindari hantaman ekor Naga Petir yang datang ke arahnya. Dengan kedua tangannya, Tegar memeluk ekor naga itu dan membantingnya ke bawah.

BUMM! suara ledakan mengiringi jatuh tubuh Naga Petir yang besar.

Kembali Tegar mengangkat ekor Naga Petir dan memutar-mutar tubuhnya dengan sekuat tenaga. Tubuh Naga Petir terangkat lurus dan berpusar akibat gerakan Tegar. Naga Petir meraung keras membuat siapapun yang mendengarnya ketakutan.

Tegar yang berputar, melempar tubuh Naga Petir ke udara. Tubuh Naga Petir terpental jauh ke atas dengan cepat. Tiba-tiba luncuran tubuh Naga Petir, akibat kekuatan lemparan Tegar, berhenti di udara.

“ANAK KURANG AJAR!” Naga Petir meraung keras saat meluncur ke arah Tegar.

Naga Petir membuka mulutnya lebar-lebar, dengan kecepatan tinggi menukik ke arah Tegar. Tegar menyilangkan tangannya di depan wajahnya, matanya memejam, kepalanya menunduk, bersiap menerima serangan Naga Petir.

Mulut Naga Petir melahap tubuh Tegar bulat-bulat. Tetapi, bagaikan angin, tubuh Tegar menembus tubuh Naga Petir. Sekujur tubuh Tegar gemetaran menahan Naga Petir yang melewatinya. Rasa sakit menusuk sampai ke tulang disarakannya saat tubuh Naga Petir menembusnya. Setelah ekor Naga Petir melewatinya, sesaat Tegar diam tak bergeming. Lututnya gemetaran menahan sensasi aneh saat ditembus Naga Petir. Sakit, geli dan gemetaran melanda seluruh tubuhnya. Rambut yang tumbuh di pori-pori tubuh Tegar meremang berdiri. Tak kuat menopang tubuhnya, kaki Tegar menekuk dan berlutut.

Tegar mulai kehilangan kesadarannya akibat serangan Naga Petir. Tegar kaku bagaikan patung dengan badan tegak dan berlutut. Tangannya masih menyilang di depan dada. Sinar putih yang menyelubungi tangannya mulai menghilang.

“Khe khe khe... dasar anak bau kencur... baru begitu saja sudah mati.” Naga petir terkekeh menertawakan Tegar yang disangka mati.

Tiba-tiba Naga Petir dikejutkan oleh cahaya kuning menyilaukan yang meliputi tubuh Tegar. Di belakang Tegar muncul cahaya bayangan raksasa yang menunjuk ke arah Naga Petir.

“DASAR KAU NAGA BUSUK! KAU MAU MEMBUNUH TUBUHKU?!BERTAPA DULU 5000 TAHUN BARU KAU BISA MEMBUNUHKU!” suara bayangan raksasa itu menggema keras memekakkan telinga.

Sial! Anak Takdir, giliran Naga Petir yang gemetaran.

Bayangan cahaya raksasa itu tiba-tiba memegang panah di tangannya dan membidik Naga Petir, membuat suara gemuruh menggema. Naga Petir terbang melarikan diri. Sebuah anak panah cahaya meluncur bagaikan meteor ke arah Naga Petir yang kabur. Kecepatan terbang Naga Petir tak mampu menghindari panah cahaya.

“Tidak! TIDAAAAAKKK!” Naga petir meraung sebelum panah cahaya mengenai tubuhnya.

Tegar melihat semua kejadian itu, sebelum berubah menjadi sinar jingga yang menyilaukan matanya. Nafasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran. Yang kini dilihatnya, sang guru berdiri didepannya sambil tersenyum.

“Bagaimana?” gurunya bertanya pada Tegar.

Tegar tidak menjawab, nafasnya masih tersengal-sengal, ekspresi wajahnya shock.

“Bukan dia yang mengalahkanku... Anak Takdir yang melakukannya,” tiba-tiba mulut ukiran naga di gagang pedang petir yang dipegang Tegar berbicara seakan hidup.

“A-apa? apa yang terjadi?” Tegar bertanya pada gurunya.

“Jiwamu bertemu Naga Petir yang terkurung di dalam pedang itu.. untuk menggunakan pedang petir, kau harus menaklukan Naga Petir terlebih dahulu,” jawab sang guru.

“Sudah kukatakan, bukan dia yang mengalahkan aku,” ukiran kepala naga di tangan Tegar berkata sewot.

“Benda ini bisa bicara?” Tegar mengangkat gagang pedang petir ke depan wajah.

“Tentu saja, bodoh,” jawab Naga Petir dengan sewot.

Pertapa Putih tertawa melihat muridnya dan Naga Petir berdebat.

“Itulah keunggulan pedang Naga Petir, selain kekuatannya yang luar biasa, pedang itu dapat membantu pemiliknya dalam bertarung.” Pertapa Putih menjelaskan pada muridnya.

“Aku tidak sudi membantu bocah ingusan ini,” kata Naga Petir.

“Bukannya kau tadi lari ketakutan saat kita bertarung?” Tegar mengejek Naga Petir.

“Anak Takdir yang mengalahkanku, bukan kau!” Naga Petir mengelak.

“Muridku dan Anak Takdir adalah satu dan kau sudah ditaklukan, penuhilah janjimu Naga Petir.” Pertapa Putih berkata bijak.

“Ck! Kau melatih murid yang lemah Mandala.” Naga Petir melengos, ekpsresi kepala naga di gagang pedang berubah kaku seperti semula.

“Guru, bagaimana jika aku tadi kalah melawan Naga Petir?” Tegar bertanya penasaran.

“Maka kau akan mati,” jawab sang guru enteng sambil berbalik meninggalkan Tegar yang kembali memandang gagang pedang petir di tangannya.

Bersambung...


Pendekar Pedang Petir (Bab. 2 : Naga Petir)

Kamis, 19 Februari 2015



Menulis sebuah cerita, baik itu cerpen ataupun novel tentunya setiap penulis membunyai caranya sendiri untuk menjadikan hasi karyanya menarik. suatu kepuasan bathin bagi tiap penulis jikalau ceritanya dikatakan "bagus" oleh pembaca. Dengan imajinasi dan kreatifitas yang tinggi seorang penulis dapat mengembangkan sebuah cerita biasa menjadi fenomenal. 

berikut saya akan membagikan beberapa cara yang dapat membuat hasil tulisan pembaca menjadi "bagus" tentunya jika dipadu dengan kreatifitas yang tinggi

Membuat Tulisan Lebih Menarik





Sudut Pandang (point of view) adalah elemen yang tidak bisa ditinggalkan dalam membangun cerita pendek. Sudut pandang adalah cara pengarang menempatkan dirinya terhadap cerita, dari sudut mana pengarang memandang ceritanya. Sudut pandangan tokoh ini merupakan visi pengarang yang dijelmakan ke dalam pandangan tokoh-tokoh bercerita. Jadi sudut pandangan ini sangat erat dengan teknik bercerita.


Sudut Pandang adalah salah satu unsur fiksi yang menjadi kunci kesuksesan cerita. Sebelum kita menulis cerita, harus memutuskan untuk memilih dan menggunakan sudut pandang tertentu di dalam cerita yang akan kita buat. Kita harus sudah bisa mengambil sikap naratif, antara mengemukakan cerita dengan dikisahkan oleh seorang tokohnya, atau oleh seorang narator yang diluar cerita itu sendiri.

Sudut Pandang Dalam Penulisan cerita






Ide ada
Kerangka ada
Alur pas
Ending sudah terbayang, tapi....
belum nulis paragraf pertama

Banyak penulis yang mengalami masalah di atas. Sebagian dari penulis, jika sudah membuat paragraf pertama yang pas, dalam beberapa kasus cukup hanya kalimat pertama, biasanya kaan lancar dalam melanjutkan ceritanya (dan nanti akan kembali macet di pertengahan :p )







Pentingnya paragraf pertama bagi suatu cerita karena merupakan awal, pembuka, ibarat pintu masuk ke dalam "dunia" yang akan diceritakan oleh penulis. Nah!! Berikut saya akan membagi tips untuk membuat paragraf pertama yang hebat




1. Memunculkan Masalah Yang Harus Diselesaikan Oleh Karakter

Pembukaan ini favorit para penulis. Pembaca (dan manusia umumnya) tertarik pada masalah – khususnya yang terjadi pada orang lain.
Mari kita lihat contohnya pada cerpen The Gift Of The Magi (1906) karya O. Henry.
Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Cuma itu. Bahkan, enam puluh sen dari jumlah itu terdiri dari uang receh bernilai satu sen-an, hasil simpanannya selama ini—yang didapatnya dengan cara mendesak tukang sayur, tukang daging dan penjaga toko kelontong agar sudi menjual dagangan mereka kepadanya dengan harga termurah. Proses tawar-menawar itu tidak jarang membuatnya malu, hingga pipinya memerah, sebagaimana semua orang pasti merasakan hal yang sama jika mereka ada di posisinya. Tiga kali sudah Della mempermalukan diri. Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Lebih sial lagi, besok adalah Hari Natal.
Contoh pembukaan diatas lansung mengetengahkan pokok persoalan yang harus diselesaikan oleh karakter (Della) :
Satu dolar dan delapan puluh tujuh sen. Cuma itu…
…… besok adalah Hari Natal.
Emosi pembaca terhubung dengan cerita karena mengangkat masalah yang familar. Di Indonesia, sebagian besar kita mengalaminya –minimal- sekali setahun (cukup mengganti Natal dengan Lebaran).
Untuk menonjolkan masalah, O. Henry mendramatisir latar belakang karakter yang hidup pas-pas-an.
Lewat detail; Uang recehMendesak pedagang untuk memberikan harga termurah. …membuatnya  malu hingga pipinya merah…. O. Henry menunjukkan beban hidup keseharian karakternya. Informasi ini dengan sendirinya meningkatkan intensitas masalah.

2. Memulai Dengan Aksi

Jenis pembukaan ini lansung melompat ke tengah cerita. Tanpa latar belakang.
Sebuah insiden memotong semua latar belakang yang bertele-tele (biasanya hadir dalam draft awal)…tepat saat aksi karakter mengambil alih cerita.
Contohnya cerpen The Man Who Shouted Teresa karya penulis Italia, Italo Calvino.
Aku menjauh dari trotoar, berjalan mundur beberapa langkah dengan wajah tengadah, lalu dari tengah jalan, seraya mengatupkan kedua tangan agar membentuk corong di sekitar mulut, aku berteriak sekeras-kerasnya: “Teresa!”
Teknik membuka cerpen dengan aksi mengacu ketat pada prinsip show don’t tell(tunjukkan, jangan katakan).
Lihat bagaimana Italo Calvino menunjukkan aksi tokoh ‘Aku’ lewat rincian; Menjauh, berjalan mundur, wajah tengadah, mengatupkan tangan
Menunjukkan membuat adegan lebih hidup. ketimbang hanya mengatakan ‘aku berdiri di trotoar dan berteriak memanggil Teresa’.

3. Memberikan Garis Besar Cerita

Pembaca bisa mengidentifikasi garis besar cerita hanya dengan membaca paragraf pertama.
Namun hati-hati menggunakan jenis pembukaaan ini. Menampilkan seluruh garis besar cerita sama saja menyuruh pembaca Anda pergi. Karena itu, jenis pembukaan ini sengaja menahan informasi penting mengenai motif karakter (alasan mengapa kisah terjadi).
Contohnya cerpen Pesta Makan Malam (1973) karya Roald Dahl, seorang penulis dan penyair asal Inggris.
Begitu George Cleaver resmi menjadi seorang jutawan, dia dan istrinya, Mrs. Cleaver, pindah dari rumah kecil mereka di pinggiran kota ke sebuah rumah mewah di tengah kota London. Pasangan itu kemudian menyewa jasa seorang koki asal Prancis, Monsieur Estragon, dan seorang pelayan berkebangsaan Inggris, Tibbs—dengan tuntutan gaji yang sangat besar. Dibantu oleh kedua orang tersebut, pasangan Mr. dan Mrs. Cleaver pun berniat menaikkan status sosial mereka dan mulai mengadakan pesta makan malam yang luar biasa mewah sebanyak beberapa kali seminggu.
Pembaca bisa mengetahui, kalau cerpen ini berkisah tentang rencana pasangan Cleaver untuk meningkatkan status sosial mereka.
Dikatakan garis besar, juga, karena telah memperkenalkan karakter, yang terdiri dari Mr & Mrs. Cleaver, koki Estragon, dan pelayan Tibbs. Mengandung benih konflik antara pasangan Cleaver Vs. Koki & pelayan yang menuntut gaji besar…serta latar di rumah mewah kediaman pasangan Cleaver.
Yang tersisa hanya alasan; kenapa ?
Kenapa untuk meningkatkan status sosial, pasangan Cleaver mesti menggelar pesta-pesta makan malam yang mewah …sampai rela menggaji mahal seorang koki asal Perancis ?
Ronald Dahl  sengaja menahan informasi tersebut sebagai trik menarik orang membaca.

4. Mengisyaratkan Bahaya (Ketegangan)

Pembukaan ini memberi pertanda kepada pembaca tentang bahaya yang menghampiri karakter – Manusia menyukai ketegangan, sebenarnya.
Contohnya bisa dilihat pada cerpen The Interlopers (1919) karya Saki (nama pena dari Hector Hugh Munro), seorang penulis asal Inggris
Di tengah rimbunnya pepohonan dalam sebuah hutan lebat di belah timur tebing Pegunungan Carpathian, seorang pria berdiri tegap mengawasi sekelilingnya. Saat itu musim dingin, dan ia tampak seolah sedang menunggu monster hutan datang menghampirinya, dalam jangkauan pandangannya, agar kemudian dapat ia bidik dengan senapan berburunya.
Saki mengirim pertanda bahaya melalui :
– Karakterisasi ; ….berdiri tegap mengawasi sekelilingnya…dan ..tampak seolah menunggu monster hutan.
– Latar ; …Pegunungan, tebing, hutan lebat, musim dingin, dan…
– Peralatan untuk membunuh berupa…. senapan berburu.

5. Menampilkan Lokasi Cerita

Membuka dengan tempat kejadian hanya jika tempat tersebut berperan besar dalam cerita.
Contohnya seperti cerpen A Clean, Well-Lighted Place (1926) karya karya Ernest Hemingway.
Saat itu larut malam dan semua orang beranjak meninggalkan café tersebut kecuali seorang pria tua yang duduk dalam bayang-bayang dedaunan pohon yang berdiri kokoh di samping sebuah lampu listrik. Di siang hari, jalanan di depan café sarat akan debu kotor, namun di malam hari embun yang terbentuk di udara serta-merta menyingkirkan serpihan debu dari permukaan jalan. Itulah sebabnya si pria tua senang duduk di café saat semua orang justru ingin pulang ke rumah, karena ia tuli dan di malam hari suasana di jalan tersebut berubah sunyi, seolah membawanya ke alam lain.
Pembukaan ini memberi petunjuk kepada pembaca adanya hubungan spesial antara lokasi kejadian dengan karakter ….dan tema cerita secara keseluruhan – Hemingway sudah mengisyaratkan itu melalui judul. Juga.
Dengan kata lain, sebuah lokasi sekaligus merepresentasikan karakter & tema itu sendiri.
Lihat contoh diatas. Hemingway meminjam tempat sebagai media karakterisasi…Visualisasi lokasi cerita mewakili sifat penyendiri karakter si pria tua. Itulah tipe pria-pria berjiwa rentan, kesepian, dan biasanya mengidap insomnia – itu sebabnya memilih kafe (yang bercahaya terang). Bukan bar.
Catatan : tidak ada alasan pribadi kenapa saya memilih cerpen ini sebagai contoh :)

Paragraf Pertama Memancing Pertanyaan Pembaca

Paragraf pertama sebuah cerpen menarik karena memicu rasa ingin tahu pembaca.
Pertanyaan menyuap orang agar meneruskan bacaan.
Meski kelima paragraf pertama cerpen diatas berbeda, namun semuanya memancing pertanyaan dibenak pembaca :
- Membuka dengan masalah yang harus diselesaikan oleh karakter
Pembaca ingin tahu bagaimana karakter menyelesaikan masalah ? Perubahan apa yang terjadi pada diri karakter setelah melewati masalah ? (resolusi).
- Membuka dengan aksi (insiden)
Apa maksud karakter melakukan aksi (insiden) ?
- Membuka dengan garis besar cerita… TAPI menahan informasi penting mengenai motif; kenapa karakter melakukan sesuatu?
- Membuka dengan pertanda bahaya (ketegangan)
Apakah karakter berhasil melewati bahaya ? Apa  yang akan terjadi dengannya ?
- Membuka dengan menampilkan lokasi cerita
Mengapa tempat tersebut istimewa ? Apa hubungan lokasi cerita dengan karakter…dan tema cerita secara keseluruhan?

…Satu hal lagi. Selalu menampilkan karakter dalam paragraf pertama.

Ada alasan mengapa kelima pembukaan cerpen diatas lansung memperkenalkan karakternya. Penulisnya tahu sifat dasar manusia. Setelah semua, manusia paling tertarik dengan sesamanya. Itu sebabnya kehadiran karakter, atau nama orang, lansung menarik perhatian pembaca.
Sangkalan : Belum ada teknik menulis yang berlaku efektif bagi semua penulis… Teknik menulis yang sama tidak menjamin hasil yang sama ditangan dua penulis berbeda.
sekian tips dari saya, artikel orisinil dari 5 cara menulis paragraf pertama dapat dilihat di : http://indonovel.com/

Paragraf Pertama



Anak Takdir






Suara gamelan menambah kemeriahan perayaan panen pagi itu. Desa Alas Batu mengadakan perayaan panen sebagai bentuk rasa syukur atas rahmat Yang Esa karena hasil panen di desa ini melimpah. Berbagai tarian khas juga dipertontonkan. Penduduk desa Alas Batu juga membuat semacam “tumpeng” dari berbagai hasil panen seperti padi, lobak, kacang, terong dan berbagai macam hasil bumi dari kebun dan sawah milik penduduk. Tumpukan hasil bumi ini nantinya di arak keliling desa, diikuti oleh para penari dan penabuh gamelan.

Setelah arak-arakan perayaan panen, pak Suwiryo, kepala desa Alas Batu mengundang seluruh penduduk desa untuk makan bersama di rumahnya. Istri pak Suwiryo telah membuat berbagai macam hidangan. Halaman rumah kepala desa penuh dengan penduduk yang duduk di atas tikar-tikar anyaman daun kelapa, melingkari makanan yang ada di tengah tiap-tiap tikar. Seusai mengucapkan kata sambutan, acara makan bersama pun dimulai.

Saat penduduk asik berpesta, datanglah seorang pertapa tua yang kebetulan lewat di depan rumah kepala desa. Pertapa dengan rambut panjang, brewok lebat dan bertampang kumal, mengenakan kain putih yang sudah lusuh dan kotor itu masuk ke dalam rumah kepala desa untuk meminta makanan. Pak Suwiryo yang melihat pertapa itu masuk segera mendatangi nya.

“Salam wahai pertapa.. apakah yang bisa saya bantu untuk anda?” kepala desa itu menyambut sang pertapa tua.

“Salam tuan.. adakah sedikit makanan untuk pertapa pengelana yang sudah tua ini?” jawab sang pertapa dengan suara khas orang tua.

Pak Suwiryo adalah orang yang tahu adat dan tradisi, tak boleh mengacuhkan seorang pertapa, guru, pengemis, orang papa, anak tanpa ayah, janda dan orang tua yang meminta sesuatu.

“Silahkan masuklah dulu wahai tuan pertapa, ke rumah hamba yang hina ini” Pak Suwiryo mengundang pertapa itu masuk.

“Terimakasih tuan... aku tidak enak masuk ke rumah tuan, sedangkan banyak orang sedang berpesta.. bisa rusak selera makan mereka tubuhku yang kotor ini,” jawab pertapa lagi.

“Tidak, tidak... bagaikan mendapat sinar terang begitu pertapa yang mulia masuk ke dalam rumahku,” kata Pak Suwiryo.

“Bila itu kehendakmu... maka terjadilah,” jawab sang pertapa masuk ke dalam rumah mengikuti kepala desa.

Pak Suwiryo dan pertapa itu berjalan beriringan membelah puluhan penduduk desa yang asik dengan makanannya. Tak seorangpun yang menghiraukan mereka.

“Lastri... Lastri... siapkan makanan yang terbaik.. ada tamu agung yang datang,” kata Pak Suwiryo kepada istrinya.
Pada zaman itu, seorang pertapa dan seorang guru amat sangat di hormati, bahkan lebih di hormati dari pada seorang raja sekalipun. Pak Suwiryo menyiapkan tikar anyaman sebagai alas duduk di tengah rumahnya dan mempersilahkan sang pertapa untuk duduk.

Tak berapa lama, datanglah istri dan anak dari kepala desa membawa makanan dan kendi tanah liat berisi air.

“Ini istri dan anak saya,” kata Pak Suwiryo memperkenalkan.

“Nama saya Sulastri..”, kata istri kepala desa sambil menaruh makanan dan kendi tanah liat di tengah-tengah tikar.

Hanya sekilas pertapa itu melihat Sulastri, seorang wanita berkulit kuning langsat dan berwajah cukup cantik, istri pak kepala desa. Pertapa itu lebih tertarik dengan anak kepala desa yang berumur 9 tahun. Dipandangnya anak kecil itu dari atas kebawah dengan alis mengernyit dan ekspresi aneh.

Jangan-jangan.. inilah orangnya.., pertapa itu membathin.

“Tegar.. jangan hanya berdiri di sana.. perkenalkan dirimu pada tuan pertapa,” kata pak Suwiryo kepada anaknya.

“Salam.. nama saya Tegar,” kata anak kecil itu pada pertapa.

“Salam,” jawab pertapa itu singkat.

Ekspresi pertapa tua memandang Tegar bagai menyimpan suatu rahasia. Dia banyak berpikir dan bergumam tidak jelas seperti berkata pada dirinya sendiri. Pandangannya banyak menerawang dan melamun.

“Silahkan tuan pertapa.. hanya ini yang dapat hamba persembahkan...” Pak Suwiryo menawarkan makanan.

“Terimakasih banyak tuan.. anda baik sekali.. semoga anda dan keluarga anda mendapat berkah dari Yang Maha Kuasa,” jawab pertapa tua itu. Pertapa tua makan dengan pelan. Perasaaannya gundah dan gelisah. Ada sebuah rahasia yang disimpannya. Saat makan, mata pertapa itu tidak berfokus pada makanan di depannya. Matanya menerawang, teringat kejadian di masa lalu.

“Wahai pertapa mulia.. mengapa tuan terlihat risau? Apakah suguhan saya yang sederhana ini tidak berkenan di hati tuan?” Pak Suwiryo bertanya khawatir melihat ekspresi sang pertapa.

“Bukan.. bukan itu wahai tuan yang murah hati.. pertapa tua ini hanya teringat sesuatu.. hheehhhhhhh...” Pertapa tua itu menarik nafas panjang menghentikan kalimatnya.

“Apakah itu wahai pertapa?” pak Suwiryo menjadi penasaran.

“Anak kecil ini.. apakah ini anak kandungmu?” sang pertapa bertanya pada kepala desa Alas Batu.

“Iya.. ini anak kandung hamba dengan istri hamba, Sulatri,” jawab pak kepala desa.

Pertapa itu memandang tajam mata Sulastri seakan melihat ke dalam jiwanya.

“I-itu benar.. Tegar adalah anak kandung kami.” Sulastri menjadi gugup karena pandangan mata pertapa tua.

“Kapan anak ini lahir? Apa ada yang aneh pada kelahirannya?” sang pertapa kembali bertanya.

“Tegar anak saya.. lahir pada sasih kapitu, malam hari, tepat pada bulan purnama, sembilan tahun yang lalu,” jawab pak Suwiryo.

“Apa tidak ada kejadian aneh sebelum dan sesudah anak itu lahir?” kembali pertapa tua bertanya.

Suami istri keluarga Suwiryo mengingat kejadian saat kelahiran putranya. Sang suami menuturkan kelahiran putranya, Tegar.

Hujan deras turun desa Alas Batu, suara guntur bagaikan saling bersahutan dengan derasnya hujan. Cahaya petir menghiasi langit malam itu. Tak ada seorangpun yang berani keluar dari rumah malam itu, kecuali dua orang pemuda di atas kuda yang berlari cepat membelah hutan di pinggir desa.
Pemuda pertama menghentak tali kekang untuk mempercepat laju kudanya. Temannya mengikuti dari belakang, tak kalah cepatnya. Begitu memasuki desa yang sepi, kedua orang itu mengarahkan kudanya ke arah barat. Tujuan mereka adalah sebuah rumah besar milik kepala desa.

Pemuda pertama segera menghentikan kuda begitu memasuki pekarangan rumah besar itu, meloncat dari kudanya dan berlari ke dalam rumah. Temannya yang datang belakangan juga meloncat dan mengikat kedua kuda pada sebatang pohon Waru besar.

“Heeeeghhhhh...” terdengar suara perempuan menahan sakit dari dalam rumah.

“Lastri! Lastri!” pemuda itu berteriak memanggil seseorang begitu memasuki rumah.

Dilihatnya seorang wanita berbaring di atas dipan dengan ekspresi wajah kesakitan. Perut wanita itu besar ditutupi kain hingga ke kaki. Kakinya menekuk di atas dipan. Disebelah wanita itu, ada seorang wanita tua sedang memegangi tangannya.

“Heeeeeghhhh..”, wanita yang berbaring itu kembali menahan kesakitan.

“Lastri? Kamu tidak apa-apa?” laki-laki itu bertanya khawatir.

“Sssttt.. kamu tunggu di luar dulu Wir..” kata wanita tua itu.

Pemuda itu mengangguk dan menunggu di luar rumah. Temannya yang baru selesai mengikat kuda, datang menghampirinya.

“Bagaimana den?” tanya temannya pada pemuda itu.

Pemuda itu menggeleng resah. Sebuah cahaya terang mengerjap di langit, diikuti suara petir yang menggelegar. Pemuda pertama berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Temannya bersandar pada dinding kayu rumah besar itu.

“Sari? Airnya sudah matang??” terdengar suara wanita tua itu dari dalam rumah.

“Belum ndoro.. sedikit lagi..” jawab seorang wanita yang dipanggil “Sari”.

CCTTAAAAARRR! kembali petir menyambar turun ke bumi. Angin bertiup kemcang, membawa bulir-bulir air hujan masuk keberanda rumah, membasahi dua pemuda yang menunggu di depan pintu. Dingin angin bercampur air hujan membuat pemuda kedua merinding. Kedua pemuda itu hanya bisa menunggu dengan gelisah.

“Heeeeggghhhh...” kembali terdengar suara menahan sakit dari dalam rumah.

Petir kembali menyambar. Cahayanya sangat terang, seakan rumah itulah yang disambar petir.

“Ayo Lastri, sedikit lagi.. kamu harus kuat.” Suara wanita tua itu menyemangati orang yang dipanggilnya Lastri.

Kembali cahaya terang mengerjap di langit, kali ini sangat terang, tepat di atas rumah itu.

“Eeeeeghhhhh... heeeegghhhhhh... AAAHHHHHH!” wanita di dalam rumah berteriak kesakitan.

CTTAAAAAARRRRR! keras suara petir menggelegar, bagaikan naga putih turun dari langit, menyambar pekarangan rumah besar kepala desa Alas Batu.
Kedua pemuda yang menunggu di beranda rumah menahan nafasnya, tenggorokan mereka tercekat, mata mereka tak berkedip melihat api berkobar di sekitar tanah perkarangan yang berlubang akibat sambaran petir. Deras air hujan tak memadamkan api di pekarangan rumah.

“Den.. aden..” suara wanita yang memanggil tertahan begitu melihat nyala api bercahaya di pekarangan rumah. Wanita itu diam tak bergeming di depan pintu. Tak ada yang bergerak. Perasaaan kaget, takut dan terpesona bercampur menjadi satu.

“Wiryo.. Wiryoo..” wanita tua di dalam rumah memanggil nama salah satu dari pemuda di luar.

Pemuda bernama Wiryo yang dipanggil, bukannya mendekati arah suara, malah berjalan ke arah lubang yang dikelilingi kobaran api di depannya. Dengan perlahan pemuda itu mendekati nyala api di pekarangan rumahnya. Lama dilihatnya api berkobar seakan melindungi lubang di tanah. Walaupun hujan turun menyiram, api itu tak kunjung padam

“Oooeeeee...oooeee” tangis bayi terdengar dari dalam rumah.

Keajaiban terjadi, api yang mengelilingi lubang di tanah perlahan padam.

“Wiryo.. kamu dimana? Anakmu sudah lahir..” kembali wanita tua itu memanggil Wiryo.

Wiryo tidak menghiraukan panggilan wanita tua itu. Wiryo tetap berjalan mendekati lobang yang kini tidak dikelilingi kobaran api. Dia melihat di dalam lubang itu ada suatu benda diselimuti cahaya putih redup. Diambilnya benda bercahaya redup itu. Cahaya benda itu hilang saat Wiryo memegangnya. Nampak benda berbentuk bulat panjang berwarna hitam dengan ukiran kepala naga pada salah satu ujungnya, mirip seperti gagang keris, namun ini jauh lebih panjang. Rasa dingin merambat dari tangan Wiryo saat memegang benda berukuran satu jengkal itu. Dipandangnya benda itu lekat-lekat, ada perasaan ngeri terlintas dalam pikirannya. Segera Wiryo membungkus benda itu dengan ikat kepalanya.

“WIRYO?! Kamu sedang apa disana? Lastri istrimu sudah melahirkan.. anakmu laki-laki,” hardik wanita tua itu pada Wiryo.

“I-iya bu..” Wiryo menyelipkan benda aneh yang terbungkus ikat kepala pada lilitan kain kain di pinggangnya dan bergegas ke dalam.
“....karena itulah kami menamakannya Tegar, Anak yang lahir di tengah badai dan petir, lahir bagaikan menantang kekuatan alam.” Suwiryo mengakhiri ceritanya.

Pertapa tua itu kembali memandang Sulatri dengan tatapan tajam. Sulastri menjadi salah tingkah. Matanya tidak berani menatap sang pertapa. Suaminya melihat gelagat aneh Sulastri. Kedua tangan suaminya memegang pundak Sulastri.

“Ada apa Lastri?” Pak Suwiryo yang sewaktu mudanya dipanggil Wiryo itu bertanya khawatir pada istrinya.

“Umm... um...” Sulastri merasa bimbang dengan ganjalan di hatinya, “ada yang kurahasiakan padamu mas..."

“Apa itu?” Suwiryo menguncangkan pundak istrinya, “katakanlah...”

“Begini mas... Tegar... sebelum aku hamil, aku bermimpi tentang seseorang...” kalimat Sulastri tertahan.

“Bermimpi apa? Bermimpi tentang siapa? Mengapa kau menyembunyikannya dariku?” Suwiryo memburu Sulastri dengan pertanyaannya.

Tegar hanya melihat dengan polos kejadian antara bapak, ibu dan pertapa tua itu. Pikirannya masih belum mampu mencerna perkataan mereka. Dia hanya bisa membisu melihat titik air di sudut mata ibunya dan ayahnya yang terbawa emosi. Pertapa itu khawatir melihat Suwiryo yang emosi. Tangan pertapa itu memegang pundak Suwiryo untuk menenangkannya. Emosi Suwiryo yang meluap-luap seketika mereda begitu tangan pertapa itu menyentuhnya. Suwiryo melepaskan pegangannya pada pundak istrinya dan menunggu istrinya melanjutkan ucapannya dengan lebih tenang. Tegar melihat ke arah pertapa yang tersenyum kepadanya. Pertapa yang dilihat berpakaian kumal dan kotor oleh orang kebanyakan menjadi orang tua berambut putih panjang terikat dan berjenggot panjang rapi, bajunya pun menjadi putih bersih dan ada semacam cahaya putih di belakang tubuh pertapa itu dalam pandangan Tegar. Secara naluriah tangan Tegar mencakup di depan dada dan badannya agak membungkuk ke arah pertapa.

“Aku bermimpi seseorang dengan cahaya amat terang menyelimuti tubuhnya, telah menyetubuhiku...” kembali suara Sulastri berhenti, air mata mulai mengalit di sudut matanya.

Tegar yang melihat ibunya menangis, memeluk tubuh ibunya.

“Kemudian aku hamil... tapi aku bersumpah mas... Tegar memang anakmu,” kata Sulastri sambil menangis memeluk Tegar.

Tiba-tiba terdengar suara keras menggema, seakan bicara disamping telinga mereka, “Wiryo... Anak yang lahir dari rahim Sulastri memang anakmu... tapi didalam tubuh anak itu ada kekuatanku... maka anak itu adalah anak Ku juga... Ku utus Mandala Parta untuk membimbing anakmu, untuk menyelesaikan tugasnya di dunia...”

Suwiryo dan istrinya kebingungan mencari sumber suara itu sementara Tegar tetap membisu memeluk ibunya. Penduduk yang asik makan di luar seakan tak mendengar suara keras itu.

“Ini adalah kehendak dewata... Guruku, Begawan Sentigi telah meramalkan sebelum beliau moksa, bahwa aku akan mendapat murid yang luar biasa yang beliau panggil dengan anak takdir.... namaku adalah Mandala Parta,” kata pertapa tua.

“Maksud tuan pertapa?” Suwiryo kebingungan.

“Bisa kau ambilkan benda yang kau temukan di pekaranganmu sembilan tahun yang lalu?” pertapa itu meminta pada Suwiryo.

Suwiryo masuk ke dalam kamarnya dengan rasa penasaran. Kemudian dia membawa keluar sebuah kotak kayu yang terikat tali dari jalinan kulit kayu. Dibukanya kotak kayu itu di depan istrinya, anaknya dan sang pertapa.

“Hanya ini yang saya temukan malam itu,” kata Suwiryo menyerahkan benda hitam mirip dengan tongkat yang ujungnya melengkung dan berukir kepala naga.

Ketika tangan pertapa tua memegang benda pemberian Suwiryo, benda itu tiba-tiba bersinar terang. Warna benda itu berubah menjadi putih perak, ukiran pada permukaan itu terlihat jelas. Nampak ukiran kepala naga bertaring banyak dan sisiknya melapisi permukaan benda itu. Terdapat 2 buah permata berwarna merah menempel di bagian yang seharusnya menjadi mata dari kepala naga.

“Tegar... coba kesini...” sang pertapa memanggil Tegar.

Tegar mendekati sang pertapa tua tanpa takut dan ragu. Pertapa itu memberikan benda di tangannya pada Tegar. Keajaiban kembali terjadi saat Tegar memegang benda tersebut. Dari ujung benda itu, muncul cahaya lurus memanjang berwarna putih kebiruan, benda itu mengeluarkan suara aneh mirip dengan suara gesekan awan mendung di langit. Benda itu, ditambah cahaya lurus, kini menampakan wujud aslinya. Pedang sinar dengan gagang lurus dan melengkung di ujungnya berukir kepala naga bermata permata merah. Ada letupan-letupan kecil di sepanjang cahaya pedang.

Tegar memandang kagum pada benda di tangannya. Suami-istri Suwiryo kaget bukan kepalang, melihat anak mereka memegang pedang bercahaya.

“Inilah Pedang Naga Petir.. pedang dari langit yang turun ke bumi setiap 5000 tahun sekali dengan tujuan dan maksud tertentu... pedang ini turun bersama pemiliknya, si anak takdir...” pertapa tua menyelesaikan penjelasannya saat matanya memandang Tegar.

“Jika memang takdirku menjadi muridmu, bawalah aku sekarang... inilah saatnya, Mandala...” mulut Tegar berucap, tapi suara yang keluar bukan suara anak kecil, melainkan suara seorang pemuda.

Pertapa tua yang bernama Mandala mengangguk dan tersenyum pada Tegar.

“Tapi... tapi...” Sulastri meratap, dia tidak ingin anaknya dibawa oleh sang pertapa.

“Sulastri... ibuku... terimakasih telah melahirkanku ke dunia... aku hanya pergi untuk sementara... untuk menyelesaikan tugas yang diberikan padaku... nanti aku akan kembali ke rumah ini... kau jangan khawatir ibu, aku akan baik-baik saja...” suara pemuda itu diucapkan mulut kecil Tegar.

Sulastri menangis memeluk anaknya seakan ingin menahan kepergian anaknya.

“Lastri.. jika ini memang suratan takdir dari yang maha kuasa.. biarkanlah anak kita pergi.. relakanlah,” kata Suwiryo menenangkan istrinya.

“Wahai tuan pertapa yang agung.. berjanjilah tuan membawa anakku kembali dengan selamat..” Sulastri memohon diantara tangisnya.

“Aku berjanji padamu,” jawab sang pertapa.

Perlahan, pelukan Sulastri pada Tegar melemah. Pelukan itu terlepas saat tegar melangkah mendekati Mandala, sang pertapa. Tangis Sulastri semakin menjadi mengiringi kepergian putra satu-satunya itu. Suaminya memeluk Sulastri.

Tegar memegang tangan pertapa tua. Sebelum berjalan pergi Tegar sempat menoleh ke belakang, melihat ayahnya memeluk ibunya yang menangis. Pertapa tua menghentak tangan Tegar untuk mengingatkannya pada tujuan yang lebih penting. Tegar mengangguk dan berjalan bersama pertapa tua. Keduanya berjalan sangat cepat, bagaikan angin. Dalam sekejap keduanya menghilang dari pandangan.

Sulastri meratapi kepergian anaknya. Belum rela hatinya melepas kepergian putra satu-satunya itu. Matanya memandang ke arah menghilangnya Tegar dan pertapa. Nanum yang dilihatnya kini hanya penduduk yang masih asik makan bersama. Tak satupun penduduk yang sadar kejadian yang barusan terjadi. 


Bersambung...

Pendekar Pedang Petir (Bab. 1 : Anak Takdir

Rabu, 24 September 2014

PART II





Trier, Jerman Dua belas bulan yang lalu...

Seorang laki-laki di depan tiga buah nisan di dalam halaman sebuah rumah besar mirip kastil dengan empat buah menara tinggi. Laki-laki itu membawa tiga kuntum bunga lili di tangannya. Rumah besar itu milik keluarga Van Hellsing dan yang berdiri di halamannya adalah keturunan terakhir keluarga itu, yang bernama Alexander Van Hellsing II. Alexander menaruh satu kuntum bunga pada masing-masing makam di depannya. Makam yang paling kanan berukir nama : Alexander Van Hellsing, sebuah makam simbolis tanpa jasad. Makam yang di tengah berukir nama Abraham Van Hellsing III yang merupakan adik kembar dari Alexander Van Hellsing. Dan makam paling kiri berukir nama Caroline van Hellsing. Ketiga makam itu adalah milik orang-orang yang sangat berarti dalam kehidupan Alexander. Makam paman sekaligus mentor dan ayah angkatnya serta makam ayah dan ibunya berjejer di depannya. Alexander berlutut di depan tiga nisan keluarganya. Kepalanya menunduk memandang topi lebar yang dipegang di dadanya. Rasa sedih bercampur dengan dendam dan amarah beraduk dalam hatinya.

“Aku berjanji..” Alexander membuka suara, “kematian kalian pasti akan ku balas.”


******AVH****** 

Edinburgh, Skotlandia Dua bulan yang lalu...

Alexander membelokkan langkahnya menuju sebuah cafe bercat merah cerah dengan dinding kaca besar memamerkan keramaian pengunjung yang mampir untuk menghindari hujan hari itu.
Langkah Alexander terhenti melihat sebuah tulisan pada sudut bawah kaca depan kafe itu. “The elephant House Birthplace of Harry Potter Now selling draugh beer” Alexander tersenyum mengingat novel fiksi tentang penyihir muda yang menghadapi takdir harus melawan penyihir paling ditakuti oleh penyihir lainnya.
Bugh! seseorang menabrak bahu Alexander dari belakang. “Maaf tuan.. saya tidak sengaja..” kata seorang gadis berkulit putih berwajah Asia mengenakan seragam sekolah putih berpadu dengan rok dan dasi bercorak hitam bergaris putih kepada Alexander.

“Tidak masalah.. saya yang menghalangi jalan,” jawab Alexander yang menyadari tempatnya berdiri.

“Saya kok yang salah.. saya terlalu terburu-buru,” gadis itu menggaruk kepalanya dan menunduk.

Alexander hanya tersenyum melihat tingkah lucu gadis didepannya. Mereka berdua memasuki kafe, Alexander duduk di meja kosong dekat dinding kaca, sementara gadis itu tampak berbicara dengan barista. Suasana kafe yang ramai tidak mengurangi kenyamanan Alexander yang bersandar di kursi memandang panorama kastil Edinburgh.

“Umm.. maaf.. boleh saya ikut duduk disini? Umm.. tidak ada meja yang kosong jadi..” gadis berseragam tadi membuyarkan lamunan Alexander

“Oh.. boleh saja.. silahkan.” Alexander tersenyum pada gadis itu.
Gadis itu menggeser kursi dan duduk di depan Alexander dan mengeluarkan smartphone layar sentuh dari dalam tas dan meletakannya di atas meja.

“Saya lagi nungguin temen.. janjinya datang jam tiga .. sampe jam segini belum keliatan juga.. payah..” gadis itu berbicara panjang lebar.

Alexander tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Saya Alexander.. Alexander Van Hellsing”. “Oh iya.. maaf.. saya Fiona Pratiwi,” gadis itu menyambut tangan Alexander.

“Pratiwi?”

“Iya.. saya dari Indonesia.. ayah saya bekerja di kedutaan Indonesia di London.”

“Kamu tinggal di asrama?” Alexander menunjuk pakaian Fiona.

 “Iya... saya sekolah di asrama Edinburgh..” jawab Fiona menunjuk logo “Edinburgh Highschool” di kantong bajunya.

Seorang pelayan wanita berseragam hitam menyela pembicaraan mereka, “selamat sore, ada yang bisa dibantu?”.

“Saya pesan Cafetière of Coffee yang javanese ya.. sama Hot Fudge Brownie,” Fiona memesan kopi hitam jawa dan brownies dengan eskrim dan saus coklat.

“Saya Café au Lait satu,” jawab Alexander singkat.

“Baik tuan dan nona.. harap menunggu sebentar” kata si pelayan dengan ramah.

“Eh, bap.. um.. om.. um.. tuan Alexander kesini untuk berlibur?”

“Alex.. panggil saja aku Alex.. bagaimana kau tahu aku bukan orang Inggris?”

“Logatmu terdengar seperti orang Jerman atau Belgia”

Alex tersenyum, “aku kemari untuk urusan bisnis.”

“Ohh ya? tapi tampangmu mirip pembunuh bayaran.. hahhaha..” kata Fiona yang melihat Alex mengenakan mantel kulit hingga selutut, kalung salib dari besi, sepatu boot coklat dan berambut gondrong.

“Bisnisku memang berkaitan dengan orang mati.”

“Kamu serius?! Keren!!” mata Fiona berbinar.

“Aku menjual peti mati.”

“Owwh... aku kira kau memang pembunuh bayaran atau pemburu vampir..”

Seorang wanita berambut pirang terikat yang mengenakan sweeter hitam mengetuk dinding kaca dari luar. Fiona tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Gadis itu pun masuk ke dalam cafe. “Pacarmu? Keren juga..” tanya gadis itu pada Fiona.

“Bukan kok.. bukan..” Fiona tersenyum namun wajahnya bersemu merah.

“Hahahhaha.. carilah pacar Fii.. kau tidak mau jadi perawan tua kan?”

“Haha,” Fiona tertawa hambar. Alexander tersenyum melihat dua gadis remaja berbeda ras di depannya.

“Alex, ini Nathalie.. Nath, ini Alex..” Fiona memperkenalkan kedua kawannya.

“Halo.. nama saya Nathalie Crutchlow..”

“Alex.. Alexander Van Hellsing,” jawab Alex menyalami Nathalie.

“Van Hellsing? apa kau.. “

“Bukan.. hanya namanya saja yang sama..”

“Owwhh.. jadi kalian.. sudah berapa lama?” kata Nath menunjuk Alex dan Fiona bergantian. Fiona mendelik pada kawannya, “Nath!!”

“Bukan.. kami baru berkenalan beberapa menit yang lalu..” jawab Alex tersenyum.
Pelayan cafe datang membawakan pesanan Alex dan Fiona. Dia menaruh secangkir kopi dengan krim di depan Alex dan kopi hitam bersama brownies di depan Fiona.

“Nath? Kamu ga mau minum?” Fiona menawarkan pada temannya.

“Ga usah, aku buru-buru.. ada janji sama George,” jawab Nath mencari sesuatu dalam tasnya.

“Ok.. tapi besok temani aku ke London,” kata Fiona.

“Iya.. nih aku kembalikan,” Nath menyerahkan sebuah flashdisk putih pada Fiona, “Aku pergi dulu, George sudah menungguku di halte... senang bertemu dengan mu Alex.. kapan-kapan kita mengobrol...”. Nathalie pergi meninggalkan mereka berdua.
Suasana canggung menyelimuti Alex dan Fiona. Alex menyeruput kopinya dan mulai bertanya pada Fiona.

“Jadi.. apa rencanamu? Tampaknya hujan sudah mereda.”

“Um..” bibir Fiona meruncing, “aku tidak tahu..”

“Bagaimana jika kau menemaniku berkeliling Edinburgh? Aku baru sampai disini kemarin.. itupun jika kau tidak keberatan.

“Um.. boleh.. kita mau kemana?” kaki Fiona berayun-ayun di bawah meja.

“Hahahha.. aku tidak pernah kemari sebelumnya...”

“Oh.. maaf.. maaf..” Fiona menggaruk kepalanya ,“um.. bagaimana kalau kita ke kastil Edinburgh? Kau sudah pernah kesana?”

“Belum..” Alex menggeleng, “baiklah ayo kita kesana.”

“Sekarang? Tapi aku belum menghabiskan makananku..” Alex tertawa mendengar alasan Fiona yang lugu,

“Baiklah.. nikmati makananmu.. aku menunggu.”

******AVH******

Edinburgh, Skotlandia sebulan yang lalu...

Alexander terbangun dari tidurnya karena matahari masuk menyilaukan matanya. Bayangan samar sesosok tubuh duduk di pinggir ranjang mulai jelas setelah Alex mengerjapkan mata beberapa kali untuk mencari fokus pandangan.

“Kau sudah bangun Alexander?”

“Fiona?!” Alex terkejut melihat Fiona yang duduk mengenakan jeans dan tanktop hitam sedang menggosok pistol berwarna hitam berhiaskan ukiran berwarna emas dengan secarik kain putih.

“Aku sudah tahu apa yang kau alami... Lou menyuruhku membantumu,” kata Fiona tanpa memandang Alex yang masih keheranan.

“Tapi kau...” suara Alex terhenti begitu telunjuk Fiona menempel di bibirnya.

“Lou... dia membuatku memiliki kemampuan setara denganmu, kini aku juga bisa memburu nosferatu.”

“Tapi ini urusanku, kau tak udah ikut campur,” kata Alex.

“Kau mengadakan perjanjian dengan Lou dan aku adalah solusi yang dia berikan... kalau kau ingin membunuh Adolfo, kau harus menerima bantuanku... itu terserah kau saja,” Fiona tersenyum pada Alexander. Alexander sekilas melihat senyum Fiona berubah. Bukan senyum gadis remaja polos yang dia temui beberapa waku lalu. Dengan eye shadow hitam menghias garis matanya, ditambah lipstik hitam terpoles di bibirnya, senyuman Fiona sekarang lebih mirip dengan senyuman Lou.

******AVH******

Edinburh, Skotlandia Hari ini, 17.00

Alexander membuka sebuah kotak yang berisi beberapa botol kecil yang diletakan berjejer, tiga buah pasak, sebuah palu, sebuah kompas, dua buah lilin, sebuah wadah emas yang berisi air suci dan sebuah pisau dari bahan perak.

“Hehehe... banyak sekali peralatanmu?” Fiona terkekeh melihat isi kotak milik Alexander.

“Ya, ini yang aku perlukan untuk membunuh Adolfo.”

“Kalau aku, cukup dengan dua benda ini,” Fiona mengeluarkan sebuah pecut dari kulit dan sebuah pistol hitam berpelatuk emas.

Alexander mengangkat sebelah alisnya, seakan berkata “terserah kau saja."

Kedua pasangan pemburu vampir ini menyiapkan alat tempurnya masing-masing. Beberapa jam lagi mereka akan menghadapi Adolfo, vampir yang berusia lebih dari lima abad yang telah membunuh tiga anggota keluarga Alexander. Alexander mengambil pisau perak dan mencelupkannya pada air suci.

“Dimana?” Alexander memecahkan keheningan yang terjadi di antara mereka.

“Malam ini, dia akan muncul di Bannerman’s Bar... kita akan membunuhnya disana,” nada suara Fiona mulai terdengar serius.

“Apa kau yakin? Dua tahun terakhir aku memburunya, dari Jerman sampai ke Skotlandia ini tapi hasilnya nihil,” kata Alex sambil memasukan beberapa botol bening kedalam saku mantel kulitnya. Fiona memandang tajam dan tersenyum pada Alexander, “Lou sendiri yang akan mengundangnya.”

“Baiklah, kita berangkat dua jam lagi,” Alex membuka lembaran sebuah buku bersampul kuning dengan tulisan “Art of War” pada sampulnya.

“Aku akan pergi sekarang...” jawab Fiona “Kau tidak ikut bersamaku?”

“Tidak, aku harus menemui seseorang.. berjaga-jaga jika rencana kita gagal.. kalau aku belum datang, seranglah dia setelah seorang wanita bergaun merah keluar dari bar.. itu adalah kode dari Lou.”

“Baiklah,” pandangan mata Alexander mengikuti Fiona hingga gadis itu keluar dari kamar.

******AVH******

Edinburh, Skotlandia Hari ini, 21.00

Alexander berdiri agak lama di depan pintu Bannerman’s Bar. “Hari ini.. akan kutuntaskan dendamku.. kau harus mati Adolfo...” Alexander berkata pada dirinya sendiri. Alexander melangkah memasuki bar dan memilih tempat duduk di sudut kanan bar yang labih gelap untuk menutupi kehadirannya. Alexander memesan segelas Martini dengan dua buah zaitun dan membaca buku bersampul kuning yang dibawanya. Mata Alexander memperhatikan tiap orang yang ada di bar. Tampak olehnya dua orang wanita berambut pirang, memakai pakaian ketat dan sexy duduk di dua meja darinya. Dari cara mereka berbusana tampaknya mereka adalah dua orang pelacur yang menunggu mangsa. Sekumpulan orang yang mengenakan kaus sepakbola merah tua dengan dua garis pala lengannya lengkap dengan syal dan topi berlogo hati, duduk di kursi di depan bartender. Mereka ribut membicarakan klub kesayangannya, Hearth of Midlothian yang menang atas rival satu Kota , Hibernian FC.Tidak ada tanda-tanda Adolfo. Alexander menunggu kedatangan musuh besarnya dengan sabar. Yang dikhawatirkannya bukanlah Adolfo, tapi Fiona yang tak kunjung muncul. Buku yang dipegangnya tak dibaca satu kata pun, begitu juga segelas martini yang menghiasi mejanya yang tak di sentuhnya. Pikiran Alexander terpecah oleh absennya Fiona malam itu.

Cling!! suara lonceng penanda tamu masuk ke dalam bar berbunyi saat seorang laki-laki bermuka pucat membuka pintu bar dan duduk di sudut bersebrangan dengan Alexander. “Adolfo!!” Alexander berteriak dalam hati, matanya melotot penuh amarah. Jika tidak mengingat rencananya denga Fiona, mungkin Alexander sekarang telah menyerang Adolfo dengan membabi buta. Adolfo mengangkat tangannya yang disambut anggukan kepala dari bartender. Tak berapa lama, seorang pelayan membawakannya segelas minuman kental berwarna merah pekat, yang diyakini Alexander adalah darah manusia. Rupanya Adolfo adalah pelanggan tetap di bar ini. “Mengapa Fiona merencanakan penyerbuan disini? Apakah dia tidak tahu kondisi bar ini? ataukah dia sengaja menjebakku?” segala macam pertanyaan berkecamuk dalam pikiran Alexander.

Saat Alexander menghidupkan sebatang rokok, tiba-tiba terdengar suara lonceng penanda tamu berbunyi lagi. Seorang wanita cantik bergaun merah gelap memasuki ruangan dan berjalan ke arah Adolfo. “Lou..” Alexander berbisik nyaris tak terdengar, namun wanita itu melambaikan tangannya ke belakang, seakan melambai untuk Alexander. Mata Alexander mengawasi Adolfo dan wanita itu sedang berbicara. Sedetik kemudian wanita itu berjalan meninggalkan Adolfo dengan ekspresi wajah ketakutan. Sesaat sebelum membuka pintu bar, wanita itu mengedipkan matan kananya pada Alexander. Dengan sebuah gerakan cepat, Alexander mengeluarkan sebuah pistol dengan laras agak panjang sambil berdiri dan membidikannya pada Adolfo.

DOR!! Adolfo memiringkan badannya, namun terlambat, peluru perak telah merobek jas pada bahunya yang kini mengeluarkan asap. Adolfo membuka mulutnya dan memamerkan gigi taringnya yang memanjang. Pengunjung bar yang ketakutan berteriak dan berlari ke arah pintu keluar. Bartender dan pelayan bar menonton dari balik meja bartender dengan ekspresi wajah datar. Alexander berjalan maju sambil menembakan pistolnya pada Adolfo yang begerak menghindar. Beberapa peluru mengenai Adolfo dan membuat badannya berasap. “Cklik cklik...” tampaknya peluru dalam pistol Alexander telah habis.

“Khaaarrrhhhh!!!” suara teriakan mirip desisan mengerikan keluar dari mulut Adolfo saat meminta bantuan pada bartender. Bartender dan pelayannya menggeleng dan tersenyum dengan kompak pada Adolfo. Rupanya bartender dan pelayan itu tidak ingin mencampuri urusan Alexander dan Adolfo malam itu. Mereka berjalan ke belakang bar meninggalkan Adolfo sendirian. Alexander melemparkan pisau peraknya ke arah dada kiri Adolfo. Dengan sigap Adolfo menangkap pisau lemparan Alexander tepat sebelum mengenai dadanya. Tangan kanan Adolfo yang memegang pisau mengeluarkan asap.

“Air suci Vatikan?” Adolfo yang terkejut segera melempar pisau menjauh dari tangannya yang mulai mengeluarkan api. Alexander kembali melemparkan sebuah pisau pada Adolfo. Adolfo meloncat dan menempel di sudut atas ruangan bar. Secepat kilat Adolfo mendorong kakinya dan meluncurkan badannya ke arah Alexander. Alexander yang terkejut tidak sempat menghindar. Tangan kanan Adolfo yang melepuh kini telah mencengkram lehernya. Adolfo mengangkat tubuh Alexander dengan mudah. Tangan Alexander memegang tangan Adolfo, mencoba melepaskan cengkraman pada lehernya. Kaki Alexander bergerak-gerak di udara, menendang badan Adolfo. Alih-alih merasakan kesakitan, Adolfo diam tak bergeming.

“Kau!!” Adolfo berteriak pada Alexander, “keturunan terakhir Van Hellsing.. sekarang kalian akan punah!!”.

BRUAK!! sekelebat sosok makhluk besar berbulu mendobrak pintu bar dan menerjang Adolfo. Cekikan Adolfo pada Alexander terlepas. Adolfo dan sosok makhluk besar itu berguling-guling menabrak meja bartender hingga hancur.

“Kau tak apa apa?” Fiona mendekati Alexander yang berbaring terbatuk memegang lehernya.

“Uhuk uhuk.. Apa itu?” tanya Alexander.

“Manusia serigala,” jawab Fiona sambil tersenyum.
Alexander melihat dengan seksama pada Adolfo yang kini bergulat dengan makhluk besar berbulu abu-abu dengan kepala mirip serigala. “Dimana kau bertemu makhluk itu?”

“Lou yang mencarikannya untukku, kunamai dia Wolfie.. lucu bukan?” jawab Fiona yang kini membidikan pistolnya pada Adolfo.

Manusia serigala yang dinamai Wolfie memukulkan kepalannya pada Adolfo. Pukulan Wolfie telak mengenai wajah Adolfo. Tinju membabi buta dari Wolfie membuat Adolfo kewalahan. Tangan Adolfo mencekik manusia serigala itu begitu menemukan celah dan langsung melemparkannya. Tubuh Wolfie yang besar terhempas membuat lubang besar pada dinding batu bar. Adolfo yang marah, segera bangkit dan melayang di atas lantai bar. Fiona menembakan senjatanya beberapa kali, namun dapat dihindari Adolfo si vampir. Alexander dengan sigap mengambil beberapa botol kaca yang terikat pada sabuk Fiona dan melemparkannya ke plafon bar. Botol-botol air suci yang dilempar Alexander pecah tepat di atas kepala dan menguyur tubuh Adolfo. Kepulan asap memenuhi ruangan. Tubuh Adolfo yang jatuh ke tanah diselimuti tabir asap.

“Khrraaaaaahhhh!!!!” jerit mengerikan datang dari arah jatuh tubuh Adolfo.

Alex dan Fiona menunggu apa yang akan terjadi. Mereka tidak berani bertindak gegabah, bisa saja Adolfo menyerang dari balik kepulan asap. Tanpa mereka duga, Wolfie datang berlari menerjang kepulan asap. Kelebat bayangan bergulat sengit terhalang asap. Suara pukulan dan erangan, serta suara anjing kesakitan terdengar dari pergumulan kedua makhluk yang sering disangka mitos itu. Perlahan tabir asap memudar dan pemandangan mengerikan terlihat. Wajah tampan Adolfo berubah menjadi mengerikan dengan rambut tipis yang mencuat dari kulit kepalanya yang melepuh kemerahan. Jasnya terbakar memperlihatkan kulit badannya yang melepuh kemerahan. Darah segar memenuhi mulut dan dagunya. Telinga kanannya mengalami luka robek seperti habis tergigit.

“Wolfie!!” Fiona berteriak ngeri melihat manusia serigala, kawannya, merangkak dengan bahu bersimbah darah. Tubuh Wolfie bergetar, perlahan tubuh besarnya mengecil, hidungnya memendek dan bulu-bulu di sekujur tubuhnya rontok. Wolfie yang tadinya bertubuh besar berbulu, telah bertranfosmasi menjadi sosok laki-laki kurus dengan rambut dan cambang yang tidak beraturan. Alexander menahan Fiona yang hendak mendatangi Wolfie yang berada terlalu dekat dengan Adolfo. Mata Adolfo yang berwarna merah menatap jijik pada sosok manusia Wolfie. Adolfo menendang tubuh Wolfie yang tak berdaya. Tubuh lemah itu terpental menghancurkan jendela bar hingga ke jalan. Fiona begitu marah melihat kawannya yang tak berdaya ditendang oleh adolfo, mencabut sebilah parang yang tersarung di pinggangnya dan berlari menyerang Adolfo. Tebasan Fiona mengincar leher Adolfo.

“Tidak semudah itu,” Adolfo menggeleng saat tangan kirinya menahan pergelangan tangan kanan Fiona yang memegang parang. Adolfo mengayunkan pukulan tangan kanannya yang telak mengenai perut Fiona, membuat Fiona terpental ke samping menghantam dinding. Darah segar keluar dari mulut Fiona. Alexander memasang brass knuckle berukir salib pada kedua tangannya dan maju menerjang Adolfo dan menindih lawannya. Alexander mulai memukuli kepala vampir itu. Pukulan brass knuckle Alexander membuat pipi Adolfo meleleh. Adolfo tak tinggal diam, kedua tangannya bergerak memegang lengan Alexander dan mendorong laki-laki itu. Alexander terhempas ke belakang. Dilihatnya Adolfo telah berdiri dan mendekatinya. Dibelakang Adolfo sosok Fiona memegang kursi yang terangkat dengan kedua tangannya.

BRAKK!! Fiona menghantam leher Adolfo dengan kursi. Hantaman Fiona yang telak mengenai Adolfo membuat kursi kayu itu hancur berkeping-keping. Alih-alih merasa kesakitan, Adolfo malah berbalik dan menyerang Fiona dengan hujaman kukunya. Fiona menunduk menghindar dan sekuat tenaga mendorong tubuh Adolfo dengan pundaknya. Adolfo yang tubuhnya terbawa dorongan Fiona, menghantam punggung gadis itu dengan kedua kepalan tangannya. Kembali tubuh indah Fiona jatuh mencium lantai.

“Ugh!” Fiona menahan sakit pada tubuhnya. Alexander tiba-tiba meloncat dari belakang danmendekap tubuh Adolfo dari belakang saat kakinya bergerak ke belakang mengambil ancang-ancang untuk menendang Fiona. Tubuh Adolfo berputar limbung mencari keseimbangan. Tangan kiri Alexander menjepit erat leher Adolfo sementara tangan kanannya memukuli kepala Adolfo. Dengan gerakan berputar Adolfo berharap Alexander melepaskan dirinya. Alih-alih melepaskan, kaki Alexander mengait pada pinggang Adolfo untuk mempererat pegangannya pada vampir itu. Adolfo dengan geram meloncat tinggi dengan punggung menghadap plafon bar. Tubuh Alexander yang mendekap Adolfo, menghantam plafon. Pegangan Alexander terlepas begitu kaki Adolfo menjejak di tanah. Alexander jatuh kesakitan memegangi punggungnya. Adolfo mengangkat kerah baju Alexander dan meluruskan kuku jari tangannya yang tajam dengan leher Alexander. Saat hendak menusukan kukunya pada Alexander, sebuah pasak menghujam pada punggung kiri Adolfo.

Dengan tubuh gemetaran, Adolfo membalik badannya dan mencekik leher orang yang menusuk punggungnya, yang tidak lain adalah Fiona. Tangan Fiona mencoba melepaskan jari-jari Adolfo yang mencekik lehernya. Rupanya pasak yang ditusukan Fiona menancap kurang dalam. Tangan adolfo mencengkram erat leher Fiona hingga gadis itu mengeluarkan suara tercekik. Adolfo menyerang perut Fiona dengan tusukan kuku tajamnya. Alexander bergegas bangun, mengangkat kursi kayu dan memukulkannya pada pasak yang menancap di punggung Adolfo. Tusukan Adolfo merobek masuk ke dalam perut Fiona, darah mengalir dari mulut gadi itu bersamaan dengan pukulan kursi pada pasak di punggung Adolfo. Adolfo rubuh bersama tubuh Fiona. Perlahan tubuh Adolfo berubah menjadi abu di lantai bar. Alexander berlutut memeluk tubuh Fiona.

“K-kit-ta... m-me-nang...” “Iya... Iya... Kita menang...” Alexander mengangguk pada Fiona. Tak terasa air mata meleleh di sudut mata Alexander. Tangan kiri Fiona terangkat, mengusap air mata dari pipi Alexander,

“J-jang-an Men-ang-ngis...”. Tangan Fiona jatuh ke lantai. Matanya memejam, tubuhnya terkulai lemas dalam pelukan Alexander. Alexander memeluk erat tubuh tak bernyawa Fiona, Air matanya mengalir deras mengiringi balas dendam dan kehilangannya malam itu.
Tamat

Alexander Vampire Hunter (Part 2)