Kamis, 22 Mei 2014

Pelet (untuk) Cinta Part I


Pelet Untuk Cinta



            Hari pertama masa orientasi di sekolahku ada satu hal yang ku sadari, ada seorang selebriti indonesia yang satu sekolah denganku. Seorang gadis cantik blasteran Indonesia-Jerman yang terkenal dengan jargon : “Udah beychek gha ada oyjeck..”, Cinta Laura Kiehl namanya. Semasa smp aku hanya melihatnya melihatnya di layar kaca. Sekarang aku begitu dekat dengannya. Sangat dekat karena dia duduk di sebelahku sambil memperhatikan pak Yono, kepala sekolah kami memberi sambutan pembukaan acara MOS.

            Tak sedikitpun ku dengar apa yang dikatakan pak Yono. Pikiran dan mataku berkonsentrasi pada bidadari berkulit merah muda yang ada di sebelahku ini. Sesering mungkin aku mencuri pandang padanya.

“Cantiknya makhluk Tuhan yang satu ini,” aku bergumam dalam hati.

Sekali pandangan mata kami bertemu, dia tersenyum kepadaku.

“Manisnya gadis ini..”kembali aku menarik nafas panjang.


Pikiranku melayang, tangan kananku menopang dagu, melamun membayangkan kami berdua berjalan berpegangan tangan di lorong sekolah ini. Pasti banyak yang akan iri padaku.


“Ech, khamu phunya penscil engga?” tiba-tiba bidadari di sebelahku bertanya.

“Eh.. ohh.. a-ada ada,” jawabku grogi.

“Aduh cinta... matamu.. bibirmu..”bathinku tak terdengar.

“Ni pensilnya..” kuserahkan pensilku padanya.

            “Jangankan pensil, jiwakupun kuserahkan untukmu,”kembali bathinku berbicara lirih.

Diambilnya pensil dari tanganku dan dia mulai sibuk membuat gambar di halaman terakhir buku tulisnya, untuk menghilangkan kebosanan akibat pidato retorik pak Yono.

            Kembali kunikmati pemandangan indah ciptaan Tuhan yang kini mencoret-coret buku tulisnya.

“Cinta cinta..”hanya dalam hati keberanianku memanggil namanya.

Apa daya? Aku bukanlah siapa-siapa baginya, bahkan bagi dunia ini. Bagaikan mendapat durian runtuh aku bisa bersekolah disini, di sekolah internasional ternama di Jakarta. Jika bukan karena kemurahan hati bos bapakku, mana mungkin keluargaku bisa menyekolahkanku disini. Bapakku hanya satpam di pabrik rokok samporno, karena pengabdiannya selama 20 tahun sebagai satpam itulah, begitu mendengar aku yang menjadi juara umum sewaktu smp tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan sekolah menengah atas, bos bapakku memberikan biaya untuk aku sekolah disini. “agar bakat dan kepintaranmu tak sia-sia”, begitu kata bos bapakku.

            “Ech, ini penscil mu.. makhasich ya.. aku Cinta, nama kamu siapa?” dia menyodorkan tangannya  sesudah kuambil pensil dari tangannya.

“Ehh.. sa-saya..eh, a-aku.. Doni.” kembali virus aziz gagap menyerangku.

Kusambut uluran tangannya. “Alamak.. halusnya tanganmu.. cinta cinta...” kunikmati memegang jemari lentik dan halus dengan sedikit melamun, yang membuat pandanganku lurus kosong dan sedikit tolol. Suara tawa tertahan membuat aksi “camel face”  ku terhenti. Segera ku lepas genggaman tanganku. Dia berlalu sambil menahan tawanya.

“Bodohnya kau Don.. Don...” aku memaki pada diri sendiri.

            Sebulan setelah kejadian itu, entah rejeki atau musibah, aku dan Cinta di tempatkan sekelas dan sebangku. Setelah kejadian itu aku nyaris tak berbicara padanya. Malu hati ini rasanya. Kegalauan ini membuatku berubah. Jadi susah tidur, tak enak makan, lebih suka menyendiri dan sering melamun sore-sore di pos kamling dekat rumahku.

“Seringnya kau melamun lay? Sampai-sampai tak kau dengar kami datang.” Togar kawanku menepuk pundakku dari belakang.

            “Iyo.. ono opo tho Dhon?”Roso menimpali.

            “Ga’ pa pa ahh..” aku memalingkan muka dari mereka. Togar dan Roso makin penasaran.

“Yo ojo ngono tho Dhon? Kowe iki konco ku, senasib sepenanggungan.. moso ga gelem crito.. sharing, ngono lho,” kata Roso memancing.

“Benarnya itu lay.. siapa tau aku dan si Roso ini bia bantu kau,” Togar menambahkan.

“Hmmm... “, aku memikirkan perkataan mereka. “Gini kawan..“ sengaja kuberi jeda agar bertambah khidmat.“Aku lagi suka sama orang,” kataku setengah berbisik untuk menambah kesan “rahasia”-nya.

“Cewe yo Dhon?” tanya Roso tolol.

“Bukan.. kambing.. ya cewelah, kau bodo’ “ Potong Togar sambil menjitak Roso.

“Yah begitu lah.. “ kataku menghela nafas panjang.

“Oww cewe tho? Kalo ituaku bisa bantu kalian..” kata Roso. Aku dan Togar berpaling kepadanya.

            “Beneran ni?” kami serempak bertanya tidak yakin.

“Apa kalian lupa? Bapakku itu kan orang pintar.. dukun paling hebat di kampung ini,” Roso berkata membanggakan bapaknya yang satu-satunya dukun di kampung kami.

“Trus..” kami berdua belum mengerti

“Ya kita serahkan saja sama bapakku.. cinta di tolak, dukun bertindak..” kata Roso mantap.

“Hmmm.. boleh juga ide si Roso ini..” Togar manggut-manggut sambil memegangi dagunya yang tak berjanggut.

“Tapi.. apa ga jadi masalah nantinya?” aku meragu.

“Tidak mungkin lah.. bapak si Roso ini sudah terkenal kesaktiannya.. Cuma anaknya ini saja yang agak...“ Togar tidak melanjutkan kata-katanya, malah melirik Roso dengan pandangan mengejek.

“Koyo kowe paling sempurna ae cukkk.. cukk,” balas Roso pada Togar. “pokoke tak jamin aman dah Dhon,” Roso menambahkan.

“Ya sudah ayo kita ke rumahmu.. daripada aku galau begini..” aku pasrah.

Sesampainya di rumah Roso, kami disambut Pak Pujo, ayahanda Roso.

“Wah tumben kalian berdua main kemari?” sapa Pak Pujo padaku dan Togar.

 “Iyo Pak.. iki koncoku enek masalah,” kata Roso pada bapaknya.

 “Masalah opo tho le?” kata Pak Pujo kembali berbahasa Jawa.

“Masalah kambing.. eh, masalah wedo’an pak,” kata Roso to the point.

 “Begini pak.. saya... “ aku bingung dan malu menjelaskannya, ku sikut lengan Roso.

 “Ngene lho pak.. koncoku iki..” Roso menepuk bahuku, “tresno karo wong wedhok.. arep di tulungi ngono lho phak,” Roso menjelaskan pada bapaknya.

 ‘Hmmm..”, Pak Pujo manggut-manggut. “kamu yakin Dhon mau bantuan saya?” Pak Pujo menanyakan keteguhan hatiku.

 “Sudah satu bulan saya tidak enak makan, tidak bisa tidur dan susah belajar.. hanya bapak yang dapat membantu saya” kataku setengah memohon.

 Kembali Pak Pujo manggut-manggut, “ya sudah ayo kita masuk ke dhalam”, ajak pak Pujo. “Kalian dhudhuk dhulu disini” kata Pak Pujo pada kami, sejenak dia masuk ke dalam kamar yang ditutupi tirai hitam kemudian keluar membawa botol bening kecil yang berisi cairan bening kekuningan.

 “Ini namanya minyak pemikat sukma, minyak pelet paling ampuh sejagad raya ini.. cukup kamu mengoleskan atau menyentuhkan minyak ini dengan tanganmu pada kulit gadis itu, maka dia akan menyukaimu lebih dari apapun.. pergunakan sebaik-baiknya,” titah Pak Pujo menyerahkan minyak pelet itu padaku.

 “Terimakasih banyak pak,” kuucapkan terimakasih pada Pak Pujo.

 Saat aku menyerahkan sejumlah uang untuk membayar minyak pelet itu, Pak Pujo menolaknya, “tidak usah Dhon.. kamu dan Roso sudah berteman sejak lama.. saya berikan minyak itu dengan cuma-cuma.”

 “Terimakasih banyak pak,” sekali lagi aku mengucapkan terimakasih, “kalau begitu saya pamit pak,” aku berpamitan.

 “Tunggu Dhon..” cegah Pak Pujo, “ada satu hal yang mau saya ingatkan.. cinta sejati tidak di dapat dengan minyak pelet itu..” kata Pak Pujo bijak.

“Iya pak, saya mengerti..” jawabku sekenanya. “Kau akan jadi milikku Cinta..” bathinku.

Di sekolah aku mencari cara agardapat mengoleskan minyak pelet pemikat sukma itu pada Cinta. Akhirnya aku dapatkan alasan yang tepat.

“Cinta.. “ aku gugup, “kamu udah buat pr fisika blum?” tanyaku.

“Ouww.. phisic? Udah..” jawabnya.

“Boleh penjem ga? Aku lupa bikin kemaren,” tanyaku penuh harap.

“Yes off course.. here you go,” kata Cinta berlogat britishnya sambil menyerahkan buku pr fisikanya padaku.

Sengaja ku sentuh tangannya dengan tanganku untuk mengoleskan minyak pelet pemikat sukma padanya. Saat ku sentuh tangannya, terjadi perubahan ekspresi pada wajahnya, raut mukanya membias merah. Aku menunggu reaksinya. Cinta tersenyum manis padaku. Aku tak tahu apa pelet ini berhasil atau tidak.

Aku coba mengajaknya untuk pertama kali, “Cinta.. ke kantin yuk?” aku tes  keampuhan minyak pelet ini.

“Okey,” jawabnya singkat dengan wajah berseri.

“Yes!! Aku berhasil!!” hatiku terlonjak kegirangan.

Kami berjalan bersama menuju kantin sekolah, ku gandeng tangannya, Cinta tertunduk malu-malu pasrah. Berbunga-bunga hatiku melihat pandangan iri bercampur heran seisi sekolah.  Sepintas kulihat Roso dan Togar menunjuk kami dengan ekspresi tak percaya.

“Macam mana pula ini? kenapa Si Dony itu bisa berpegangan tangan sama cewek blasteran itu?” kata Togar.

“Mungkin itu Ghar, yang bikin kawan kita pusing selama ini.” Roso menggelengkan kepalanya menatap Dony dan Cinta berjalan ke kantin.

“Ahh.. sial!! Tau begini, dari dulu aku minta barang ‘itu’ sama bapakmu”

“Belum rejekimu Ghar...”

Cinta tersenyum tersipu duduk berhadapan denganku. Kami duduk berduaan, nasi goreng kantin serasa 5 kali lebih enak, dunia bagaikan miliku dan Cinta. Hanya ada kami berdua, yang lain nebeng di kontrakan sebelah.

Sejak saat itu interaksi kami semakin intens. Kemanapun kami selalu berdua bagaikan orang pacaran, indahnya dunia ini. Pernah suatu kali ku ajak Cinta nonton bioskop. Dalam keremangan bioskop film Perahu Kertas diputar proyektor. Ku pandang wajahnya dalam gelap bioskop. Kejap cahaya memantul dari layar perak akibat pergantian adegan yang antara Kugy dan Keenan tak mengurangi kecantikan Cinta Laura Kiehl. Ku elus punggung tangan kiri Cinta dengan tangan kananku. Ku genggam tangannya, Cinta melihatku dan tersenyum manis. Ku dekatkan wajahku padanya. Perlahan matanya mulai menutup. Ku cium bibirnya lembut, dia menyambut ciumanku. Cinta meremas tanganku menahan hasrat. Sebuah ciuman pertama antara aku dan Cinta yang tak berlangsung lama namun lembut, hangat dan basah. Sebuah sensasi menyenangkan sekaligus menenangkan akibat ciuman yang mampu memacu tubuh menghasilkan hormon oksitosin dan menurunkan kadar hormon kortisol dan menghasilkan hormon adrenalin si hormon penyembuh/penghilang sakit.

“I love you..” ku bisikan di telinganya setelah firts kiss dengannya.

“I love you too..” kembali dia menciumku.

Sejak saat itu, kami bagaikan ketagihan berciuman akibat hormon dopamine yang membuat kami mabuk cinta. Kapanpun dimanapun kami mencuri waktu untuk bermesraan berciuman, di kelas, perpustakaan, UKS bahkan di parkiran. Waktu seakan mendukung kegiatan ”remaja” kami. Selalu ada kesempatan saat kami menginginkannya. Ciuman biasa, French kiss, ditambah rabaan serta remasan pada payudara, paha dan belahan pantat yang tidak ditolak oleh Cinta.  Aku tidak berani melakukan lebih dari petting, aku sadar resikonya nanti jika aku melakukan hubungan sex dengannya. Aku sadar aku hanyalah anak seorang satpam dan masih duduk di bangku sekolah. Tanpa perkerjaan dengan penghasilan cukup, tak ada yang kujadikan pegangan nanti jika kami kebablasan.

Hubunganku dengan Cinta membuat duniaku terasa jauh lebih indah. Roso yang berbadan tambun, kini ku lihat bagaikan model obat diet. Togar yang bermuka kaku persegi kulihat bagaikan personel Super Junior. Pelajaranpun serasa semakin gampang untuk ku kerjakan. Singkat kata, Cinta adalah suplemen kehidupan yang dapat membuat tai kucing terasa Magnum Gold.

Walaupun mempunyai kekasih, tak membuat hubungan pertemananku dengan Togar dan Roso terputus. Kami masihlah tiga serangkai yang selalu bersama. Mungkin pada jam sekolah aku selalu bersama Cinta, tapi sepulang sekolah kami tetap akrab seperti sedia kala.

Sore ini aku dan Roso duduk di pos ronda kesayangan kami. Kupetik gitarku sambil mendendangkan lagu-lagu pop alay kesukaan anak muda zaman sekarang, Roso pun menimpali ku bernyanyi. Mulai dari Armada hingga Kangen Band, entah kenapa tiba-tiba aku jadi hapal lagu-lagu single mereka. Padahal sejak lulus sekolah dasar kupajang poster “Adam Levine dan empat orang di belakangnya” atau yang kita kenal dengan nama Maroon 5 serta poster-poster Muse, Alterbridge, Traffic Light dan sebangsanya di dinding kamarku.

Duet kami bernyanyi tidaklah terlalu buruk. Hanya menggetarkan kaca jendela pada rumah-rumah sekitar, sukses membunuh burung perkutut peliharaan pak RT dan membuat kucing yang lewat tiba-tiba ingin kawin.

“Kamu dimana.. dengan siapa.. semalam berbuat apa...”

“Hwoii!!” Seseorang yang kukenal suaranya menepuk pundakku dari belakang. Aku berbalik padanya dan tersenyum manis cenderung terlihat blo’on.

“Dari mana aja kamu Ghar? Udhah kita tungguin dari tadhi juga”

“Aku tadi bantu mamak aku, biasalah bisnis keluarga”

“Halaah... paling kamu abis nagih utang lagi.”
“Nah! Itu kau tau bisnis mamak aku,” katanya terkekeh. Togar menyalakan sebatang rokoknya dan bertanya padaku, “jadi... bagaimana hubunganmu sama si bule itu?”.

“Hmm... bagaimana ya?” Pertanyaan Togar membuatku mau tidak mau menarik kedua sudut bibirku ke samping. “Ya lancar lah... seperti biasa...”.

“um... bagaimana ya...” alis Togar bertemu dan pandangannya menyamping, “sebenarnya, ada yang mau ku tanyakan padamu...”.

“Apa gar?”

“Paling-paling dia mau minta sisa minyak pelet dari bapakku,” potong Roso

 “Ahh.. bukan, bukan itu kawan.. begini.. apa pacarmu itu punya...” Togar mulai menggaruk kepalanya.

“Punya apa Gar?” aku jadi penasaran pada kawanku ini.

“Punya itu..”

“Itu... itu... itu opo tho? Ngomong sing genah Ghar!” kali ini Roso yang ikutan penasaran.

“Punya anu..” aku yakin, seluruh kutu di kepala Togar pasti sudah rontok semua karena garukan tangannya semakin keras. “Punya sepupu atau apalah yang sejenis.” Kulit Togar yang kecoklatan, berubah warna menjadi merah kehitaman, bagaikan kepiting bakar yang telat diangkat.

“Sejenis? Maksudmu iki opo tho?” Roso menyuarakan suara hatiku, kebingungan kami sama rupanya.

“Yah.. itu.. sama-sama bule begitu.” Togar membalikkan badannya menahan rasa malu.

Aku dan Roso saling berpandangan dan memegangi perut kami menahan tawa.

“Ppfftt ppffttt.. pwahahahhahaha...” pertahanan tawa Roso jebol rupanya, “kowe iki Ghar.. Ghar.. Dony sing nganteng ngene ae mumet kok.. lah awakmu sing rupane koyo preman terminal kok malah doyan bule?? Eling Ghar... eling...”

Togar tersenyum kecut mendengar ejekan Roso namun ada nada optimis saat dia berkata, “namanya juga usaha.. siapa tau aku bisa memperbaiki keturunan? Ya kan?”

“Ya sudah... nanti ku tanyakan sama Cinta,” kataku menepuk bahu Togar.
“Benaran ini Don?” ada binar harapan di mata Togar.

“Iya.. kau sabar tapi ya...” jawabku meyakinkannya.

Roso mulai berjalan ke belakangku dan terbatuk, “huk.. uhuk.. ngimpi.. uhuk.. huk..”

Togar yang mulai kesal mengambil sandal di kakinya dan mulai mengejar Roso yang telah berlari menjauh. Aku tertawa melihat tingkah kedua kawanku ini.


Bersama Cinta, waktu terasa begitu cepat, tak terasa libur semester pertama sudah di depan mata. Tak kuduga Cinta kekasihku mengajak aku liburan di villa milik Michael Kiehl ayahnya yang terletak di pesisir pantai Anyer. Karena aku tidak punya kegiatan saat liburan semester nanti, aku mengiyakan permintaan Cinta. Baik aku maupun Cinta  berbohong pada orangtua kami dengan mengatakan liburan bersama teman-teman, padahal hanya kami berdua. Cinta menyetir mobilnya menuju villa, aku yang sedari awal tidak bisa menyetir hanya duduk di sebelah Cinta dengan perasaan tidak enak hati. “Duh.. laki-laki macam apa aku ini.. masa cewek yang nyetir?” aku hanya berkata dalam hati.

Deburan ombak menyambut kami begitu sampai di villa milik keluarga Kiehl. Sebuah villa yang besar, tiga kali besar rumahku, dengan halaman yang luas ditumbuhi padang rumput nan hijau. Bangunan 2 bertingkat dengan cat putih dan coklat krem dengan arsitektur campuran modern berjendela besar ini begitu megah bagiku. Tak henti-hentinya aku mengagumi villa ini. “jyangan bengong ajya.. c’mon”, kata Cinta dengan logat khasnya mengajaku masuk. Aku masuk menenteng tas 2 tas kami yang berisi baju, sebuah tas laptop dan sebuah tas kecil berisi kamera digital. Dekorasi khas bangunan modern minimalis menghiasi ruangan villa. Sofa putih  yang terlihat empuk, sebuah meja kaca bulat, dan tv besar bertuliskan “plasma” menempel cantik di dinding berwarna abu-abu muda. Cinta mulai membuka semua gorden  jendela villanya, membuat cahaya matahari sore masuk menyinari villa ini. Ku taruh semua tas di sofa dan membantu cinta membuka gorden pada jendela belakang villa. Terdapat kolam renang persegi panjang di belakang villanya, dengan 2 pasang kursi hitam terbuat dari besi menghias pinggir kolam. Aku takjub pada keindahan dekorasi villa ini. Pengaturan tata letak yang tak pernah ku lihat sebelumnya.

Are you hungry beibh?” Cinta bertanya sambil menarik gorden.

“Iya ni.. laper..” aku mengangguk pada cinta. 

Cinta berjalan membuka kulkas dan melihat-lihat, “kamu mau American meal?”, tanya Cinta sambil mengeluarkan sekotak telur ayam dari kulkas.

“Apaan tuh?” aku bingung mendengar kata american meal.

Egg with beef beacoon, ham, sausageand bread,“ Cinta menjelaskan dengan logat british english yang fasih.

“Hah?” yang ku mengerti hanya katasausage yang artinya sosis.

“Telur, daging asap, ham, sosis dan roti,” Cinta menjelaskan dengan bahasa yang ku mengerti.

”Oww.. boleh boleh.. emangnya kamu bisa masak begituan?”, aku meragukannya. “Jangan sampe beracun ya..” kataku bercanda yang direspon muka sewot Cinta.

“Kalo sewot, kamu tambah manis Cin...”aku tersenyum melihat gadis manis ini mencibir padaku.

Cinta mulai sibuk membuatAmerican meal di dapur dengan  kitchen set lengkap yang aku yakin harganya sangat mahal. Aku melanjutkan membuka semua gorden di villa sambil memperhatikan Cinta yang serius dengan masakannya. Walaupun sedang memasak, ekspresi gadis itu tetap lucu di mataku. Seorang artis kaya raya dengan tangan mulus yang pintar memasak. Sedikit aneh mamang, tapi inilah yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri.

Aroma daging asap dan sosis digoreng menyerang indra penciumanku membuat rasa lapar semakin menyerangku. Aku duduk di sofa menunggu Cinta masak. Kuambil remote  dan menyalakan tv untuk mengalihkan perhatianku. Aku bingung, hampir semua siaran menggunakan bahasa asing. Walaupun bisa sedikit bahasa inggris, tapi orang-orang bule di tv bicara begitu cepat. Ku pencet tombol remote mencari saluran indonesia dan terhenti saat kulihat dua tokoh kartun berkejaran. Tom si kucing mengejar Jerry si tikus dengan sebuah palu di tangan. Aku tergelak saat melihat palu Tom mengenai sasaran yang salah, seekor anjing galak abu-abu yang kemudian memukul Tom hingga babak belur. Dua pasang lengan melingkar di leherku.

Cinta mengecup pipiku dari belakang dan berkata,”udah siap beibh..”

Kami makan masakan Cinta. Rasanya enak menurut lidah Indonesiaku. Sebuah sosis, beberapa lembar daging asap, sebuah daging ham ditutupi telur mata sapi dan roti gandum ditemani segelas sirup jeruk, hanya satu yang kurang yaitu nasi. Aku sejak kecil terbiasa makan nasi dan sekarang dengan makan roti, perutku tidak merasa kenyang.

“Villa mu ga ada yang nungguin?” aku bertanya sambil menyuap sepotong daging asap ke mulutku.

“Hmm.. mmm.. “ Cinta menghabiskan kunyahannya, “ada.. bi Inah.. tapi dia datang pagi.. bersih-bersih,” jawabnya kemudian melanjutkan makan.

Selesai makan kami pun mandi bergantian. Cinta mandi lebih dahulu, aku menunggu antrian sambil menonton tv. Dua puluh menit kemudian, Cinta keluar kamar mandi.

“Your turn,” katanya padaku.

Aku menoleh, dia hanya mengenakan handuk menutupi payudara sampai beberapa sentimeter di bawah pangkal paha. Paha mulusnya terlihat jelas dengan kulit putih memperlihatkan urat darah berwarna biru kehijauan dengan jelas. Aku terpana melihat keindahan karya Sang Pencipta terpampang indah di depanku.

“Kok malah bengong? Ayo mandi, abis ini kita berenang..” kata Cinta menyadarkanku.



~****###****~

“Tok tok...”.

“Beibh? Kok lama banget?”.

“I-iya.. sebentar Beibh..”

“Hurry up! Nanti sunsetnya lewat lho.”

“I-iya.. dikit lagi...”

“Beibh?”

“Iya iya..” aku membuka pintu dan terkejut melihat Cinta mengenakan pakaian renang jenis onepiece tanpa lengan. Lekuk tubuhnya tercetak jelas pada permukaan baju renang hitamnya.

“Hey? Kok bengong? Ayo..”.

“A-ayo,” aku mengulang perkataan Cinta.

Dia mengandeng tanganku menuju kolam renang, saat aku sibuk memperhatikan pantat montoknya yang bergoyang. Ingin rasanya aku remas pantat bulat Cinta, tapi aku lebih takut tangannya menampar pipiku.

“Here we go!” Cinta meloncat ke dalam kolam renang, menimbulkan riak air membias ke arahku.

Cinta menggerakan telapak tangannya memanggilku. Aku tersenyum dan ikut meloncat ke dalam kolam renang. Ternyata kolam yang terlihat pendek dari atas ini sedalam 2,5 meter, untungnya aku bisa berenang. Celana renangku menjadi sesak karena melihat selangkangan Cinta yang tertutup bagian segitiga baju renangnya saat aku hendak menuju permukaan.
Layaknya dua remaja dimabuk cinta, kami tertawa bercanda di kolam renang. Saling menyiramkan air satu sama lain, berlomba mencapai ujung kolam, alangkah indahnya kemesraan kami ini. Bukan moment-nya yang indah, tapi berkali2 badanku tergesek dengan payudara Cinta.

“Hehehhe.. asik ya?” kata Cinta yang bersandar di tepi kolam.

“Iya.. eh, liat tuh!” aku berseru menunjuk matahari yang mulai menyentuh tepian cakrawala.

“That’s beautifull!!”.

“Iya.. kaya kamu..” aku mencoba merayunya.

Cinta tak menjawab, tahu-tahu dia langsung meraih kepalaku dan mencium bibirku. Sepertinya rayuan gombalku, ditambah efek sinar jingga matahari yang menerpa kami, sukses besar.

            Cinta melepaskan ciumannya dan mencubit perutku, “don’t try to lie to me.”

            Sepertinya rayuanku tak berhasil, “Engga kok.. kamu emang cantik beneran.”

            Cinta tersenyum manis mendengarnya. Kudekatkan kepalaku padanya dan kucium lagi bibirnya. Cinta menyambut ciumanku, tapi kali ini berbeda, dia menciumku seperti tak ada hari esok lagi. Cinta menggeser tubuhnya dan memelukku. Akupun memeluk pinggangnya. Cinta kembali melepas ciumannya dan menatap mataku lurus, “do you love me?”

            Aku mengangguk mantap.

Sebuah senyum terkembang di wajahnya. Tiba-tiba tangannya memegang menyentuh dadaku. Reflex aku menepis tangannya.

“Why?” Cinta bertanya dengan raut wajah bingung, “katamu kamu mencintaiku?”

“Tapi...”

Cinta berbalik dan berenang ke ujung kolam, meninggalkanku yang merasa bersalah.

“Beibh...” aku mengejarnya ke ujung kolam dan memeluknya.

Cinta memunggungiku, tak sedetikpun wajahnya menatapku.

“Aku suka sama kamu.. aku cinta sama kamu.. tapi ga gini juga..”

“If you love me.. then prove it!” Cinta berseru dengan nada tinggi.

Ada kebingungan di hatiku, “apakah harus begini untuk membuktikan rasa sayangku padanya? Apakah harus mengikuti nafsuku dan melupakan nalarku?Tapi ini bukanlah cinta.. aku mencintainya, tapi dia... perasaanya padaku tidaklah nyata... hanya terpengaruh minyak pemikat sukma...”

Kurasakan ada yang mengelus celanaku, rupanya saat aku kebingungan, Cinta membalik badannya dan kembali tangannya mencari pemuas nafsu. Bagai Merasakan kebimbanganku, Cinta tersenyum penuh kemenangan.


Seandainya hidup adalah sebuah keterpaksaan,
Bagaimana kau jelaskan bintang yg setia peluki dada malam?


Jika aku adalah satu dari sekian banyak pilihan
Maka cinta adalah suatu pemahaman akhir....
Lembar yg terlepas dari kitab kehidupan-mu

           
Aku tak perlu zikir
Ataupun sihir
Aku hanya butuh kau!
Tak perlu rumit berfikir
Mari cicipi rindu mengelegak,
kita...


Suara tawamu,
Tapal yg batasi antara surga dan neraka...

Senyum yang tersipu itu....
Telah mekarkan bunga bunga suram di tepi jurang

Tempat aku menjejak
Dan mencium sejuta aroma cinta mengangkasa...
.

Pada lekuk tubuhmu,
Kutemukan legenda yang belum pernah ditulis

Semoga tak salah kuterjemahkan
Mantra dibalik redup matamu
Yang telah memikat segala mahluk tak berdaya
Yang ingin sejenak berlari dari dunia...


            Matahari mulai tenggelam. Jingga sinarnya memancar menerangi tubuh telanjang kami. Ada sensasi tersendiri yang kurasakan, indahnya matahari terbenam dan nikmat yang ku kejar berdua bersama Cinta. Sungguh perpaduan keindahan yang tidak dapat dituliskan oleh puisi manapun.

            Ku kecup kepalanya yang bersandar di bahuku. Nafasnya masih tak beraturan seperti orang sehabis berlari. Kuusap rambutnya lembut. Mataku memandang garis horizon laut yang dihiasi lampu-lampu kecil kapal nelayan. Badanku yang lelah merasakan kedamaian dalam pelukannya. Sekali lagi ku katakan, tolong jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini....


  Bersambung.....

0 komentar:

Posting Komentar